Opini

1028

Penjiwaan Nilai Hari Lahir Pancasila 2025: Memperkokoh Ideologi Pancasila dalam Pembangunan Demokrasi Pasca Pemilu dan Pilkada 2024

Penjiwaan Nilai Hari Lahir Pancasila 2025: Memperkokoh Ideologi Pancasila dalam Pembangunan Demokrasi Pasca Pemilu dan Pilkada 2024 Oleh: Muhadis Eko Suryanto, SIP Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—sebuah momen bersejarah yang tidak hanya menjadi refleksi atas dasar negara, tetapi juga momentum untuk memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya nilai-nilai ideologi bangsa. Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun 2025 ini mengusung tema “Memperkokoh Ideologi Pancasila, Menuju Indonesia Raya.” Tema ini sangat relevan dan strategis, terutama dalam konteks pembangunan demokrasi pasca pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Pemilu dan Pilkada bukanlah titik akhir dari demokrasi, melainkan awal dari kerja besar dalam memastikan bahwa demokrasi berjalan sesuai dengan semangat dan nilai-nilai Pancasila. Pemilu yang berkualitas harus dibarengi dengan konsistensi penegakan etika politik, perlindungan terhadap hak-hak sipil, serta penguatan partisipasi publik dalam pengawasan dan pengambilan kebijakan. Pancasila sebagai Landasan Etika Demokrasi Pancasila bukan sekadar fondasi normatif negara, tetapi juga sistem etika publik yang harus menjiwai seluruh proses demokratis. Demokrasi tanpa Pancasila akan menjadi prosedural semata—yang bisa kehilangan arah ketika kekuasaan digunakan tanpa kepedulian pada keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan. Seperti dikatakan oleh Yudi Latif dalam bukunya "Pancasila: Rumah Kita Semua" (Cetakan Revisi, 2023), “Pancasila bukan hanya dasar negara, melainkan spirit moral yang harus hidup dalam ruang publik kita; dari lembaga-lembaga politik hingga tindakan warga negara.” Pernyataan ini menegaskan bahwa Pancasila harus diinternalisasi dalam kehidupan politik dan pemerintahan, terutama setelah rakyat menggunakan hak politiknya dalam pemilu. Setelah hiruk-pikuk kampanye dan kontestasi, kini saatnya seluruh elemen bangsa kembali merekat dalam semangat persatuan dan kerja bersama. Inilah penjiwaan Pancasila yang sejati. Pembangunan Demokrasi Pasca Pemilu dan Pilkada Pasca Pemilu dan Pilkada 2024, kita dihadapkan pada tugas besar: menata kembali ruang sosial-politik yang sempat terbelah. Isu polarisasi, politik identitas, hingga hoaks masih membayangi demokrasi kita. Di sinilah peran nilai Pancasila sebagai perekat sangat diperlukan. Sila Ketiga tentang Persatuan Indonesia harus menjadi jembatan penghubung antara perbedaan pilihan politik yang sempat tajam. Selain itu, sila Keempat—Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan—mengajarkan pentingnya praktik demokrasi deliberatif, di mana keputusan politik bukan hanya ditentukan oleh suara mayoritas, tetapi juga melalui proses musyawarah yang berkeadaban. Seperti diuraikan oleh Prof. Bivitri Susanti dalam bukunya “Demokrasi dan Negara Hukum: Arah Baru Pascapemilu” (2024), “Demokrasi Indonesia tidak cukup hanya memilih pemimpin lima tahunan, melainkan menuntut partisipasi kritis dan sadar ideologi dari warganya untuk mengawal pemerintahan agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat.” Menjadikan Pancasila sebagai Praktik, Bukan Sekadar Simbol Penjiwaan Pancasila dalam pembangunan demokrasi pasca pemilu berarti mengubah nilai-nilai Pancasila menjadi praksis: keadilan sosial dalam kebijakan publik, penghormatan pada hak-hak minoritas, serta transparansi dalam tata kelola pemerintahan. Dalam konteks ini, lembaga seperti KPU dan Bawaslu memiliki tanggung jawab strategis untuk membangun kesadaran demokratis yang tidak berhenti di bilik suara, tetapi terus hidup dalam ruang-ruang partisipatif masyarakat. Menjadi Indonesia Raya seperti yang digelorakan dalam tema Hari Lahir Pancasila 2025 bukan sekadar slogan nasionalistik, melainkan cita-cita luhur yang hanya mungkin tercapai jika ideologi Pancasila dipraktikkan dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa, termasuk dalam demokrasi yang terus tumbuh dewasa. Penutup Momentum Hari Lahir Pancasila harus menjadi titik balik untuk memperkuat komitmen kita terhadap demokrasi yang berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa. Demokrasi pasca Pemilu dan Pilkada harus lebih dari sekadar formalisme politik. Ia harus menjadi gerakan nilai, yang menempatkan Pancasila sebagai pusat orientasi. Sebab hanya dengan ideologi yang kokoh, kita dapat menapaki jalan menuju Indonesia Raya—yang adil, makmur, bersatu, dan berdaulat.


Selengkapnya
522

Peran Perempuan dalam Peningkatan Partisipasi Memilih pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sekadau Tahun 2024

Partisipasi perempuan dalam politik, termasuk dalam pemilihan umum, merupakan salah satu faktor krusial dalam proses demokrasi yang inklusif. Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sekadau tahun 2024 dapat menjadi momentum penting bagi peningkatan partisipasi politik perempuan, baik sebagai pemilih maupun sebagai bagian dari penggerak sosial. Dalam konteks ini, peran perempuan sebagai agen perubahan di masyarakat menjadi signifikan dalam memotivasi kelompok lain untuk turut serta berpartisipasi aktif dalam proses pemilihan. Partisipasi politik perempuan memiliki potensi besar untuk mendorong keterwakilan yang lebih merata dan inklusif. Berdasarkan teori Critical Mass yang diperkenalkan oleh Dahlerup (1988), di mana suatu perubahan signifikan dalam representasi politik dapat terjadi jika ada jumlah kritis dari kelompok yang sebelumnya terpinggirkan, perempuan dapat menjadi motor penggerak untuk perubahan sosial-politik yang lebih luas. Dalam konteks ini, perempuan di Sekadau dapat berperan aktif melalui berbagai forum, baik dalam lingkup keluarga, komunitas, hingga organisasi, untuk mendorong partisipasi memilih. Salah satu cara konkret yang dapat dilakukan oleh perempuan adalah menginisiasi dan terlibat dalam kampanye pendidikan pemilih, terutama di kalangan perempuan pedesaan yang mungkin kurang memiliki akses terhadap informasi politik. Melalui edukasi yang berkelanjutan, perempuan dapat menyadari pentingnya hak pilih mereka dalam menentukan arah kebijakan lokal yang berpengaruh langsung pada kehidupan sehari-hari, seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial. Selain itu, menurut teori Civic Voluntarism Model (Verba, Schlozman, dan Brady, 1995), partisipasi politik, termasuk pemilihan, sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti sumber daya (waktu, uang, dan keterampilan), kesadaran politik, serta mobilisasi sosial. Perempuan yang memiliki peran signifikan dalam komunitas dapat menjadi penggerak utama dalam memobilisasi sumber daya ini di tingkat lokal, sehingga semakin banyak perempuan yang terlibat dalam proses pemilihan. Peran perempuan dalam keluarga sebagai pengambil keputusan informal juga berkontribusi pada peningkatan partisipasi politik. Perempuan sering kali memiliki pengaruh kuat dalam keputusan anggota keluarga terkait pemilihan, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti mendorong suami, anak-anak, atau kerabat untuk menggunakan hak pilih mereka. Dengan demikian, pemberdayaan perempuan dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sekadau 2024 tidak hanya penting untuk meningkatkan partisipasi pemilih, tetapi juga untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif dan berkeadilan gender. Perempuan harus diberikan ruang lebih besar dalam proses sosialisasi pemilu, baik sebagai pemilih, aktivis, maupun pelaksana politik. Perempuan yang lebih teredukasi dan aktif secara sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya dalam menggerakkan partisipasi politik, yang berujung pada penguatan demokrasi lokal yang lebih adil dan berkelanjutan. Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP


Selengkapnya
536

Penjiwaan Nilai Pancasila pada Hari Kesaktian Pancasila: Kunci Menyalurkan Aspirasi dalam Pilkada 2024

Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang jatuh pada 1 Oktober setiap tahunnya memiliki makna yang mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini bukan hanya seremonial belaka, tetapi juga momen untuk merefleksikan nilai-nilai luhur Pancasila yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, penjiwaan terhadap Pancasila menjadi penting karena nilai-nilainya mampu membimbing masyarakat dalam menyalurkan aspirasi politik secara bertanggung jawab, beretika, dan bermartabat. Pancasila sebagai Fondasi dalam Demokrasi Pancasila, sebagai dasar negara, tidak hanya berfungsi sebagai panduan normatif dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga menjadi landasan moral bagi setiap warga negara. Menurut Soekarno, “Pancasila adalah Weltanschauung, pandangan hidup, way of life yang membawa kita pada satu kesadaran bahwa persatuan dan keadilan sosial adalah tujuan kita bersama.” Dalam pemilihan umum, termasuk Pilkada, nilai-nilai persatuan, musyawarah, dan keadilan yang terkandung dalam Pancasila harus dijadikan pedoman utama bagi setiap individu dan kelompok dalam menyalurkan aspirasi politik mereka. Dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila, masyarakat diingatkan untuk selalu menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini sangat relevan dalam situasi Pilkada, di mana aspirasi masyarakat bisa menjadi sangat beragam, namun tetap harus dikelola dalam kerangka persatuan dan toleransi. Dengan menghayati nilai-nilai Pancasila, proses demokrasi akan berjalan lebih baik, karena setiap peserta baik pemilih, calon kepala daerah, maupun penyelenggara pemilu akan berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi yang adil dan beretika. Penjiwaan Nilai Pancasila dalam Menyalurkan Aspirasi Proses penyaluran aspirasi dalam pemilu tidak terlepas dari kesadaran dan penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal ini penting untuk menjaga agar perbedaan pendapat tidak berujung pada perpecahan, melainkan tetap dalam kerangka kebersamaan dan persatuan. Menurut teori etika politik John Rawls dalam "Theory of Justice" (1971), keadilan sosial dapat tercapai jika setiap individu terlibat dalam proses politik dengan mengedepankan kepentingan bersama. Konsep ini sejalan dengan sila ke-5 Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang menekankan bahwa kesejahteraan dan keadilan sosial harus dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dalam Pilkada 2024, masyarakat yang mampu menjiwai Pancasila akan lebih mampu menyalurkan aspirasinya secara bijaksana. Mereka akan memilih calon pemimpin yang bukan hanya mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi juga berkomitmen untuk memperjuangkan kesejahteraan dan kemajuan bersama. Ini merupakan bagian dari tanggung jawab moral sebagai warga negara yang memahami bahwa demokrasi adalah alat untuk mencapai kebaikan bersama, bukan sekadar ajang persaingan kekuasaan. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila sebagai Pengingat Peringatan Hari Kesaktian Pancasila memiliki arti penting dalam mengingatkan masyarakat akan sejarah perjuangan bangsa melawan segala bentuk ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam konteks Pilkada, peringatan ini juga dapat dilihat sebagai momen untuk menegaskan kembali komitmen kita terhadap nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam proses demokrasi. Menghayati Hari Kesaktian Pancasila berarti memahami bahwa demokrasi harus selalu dijalankan dengan rasa tanggung jawab, moralitas, dan kesadaran akan persatuan bangsa. Sebagaimana yang diungkapkan oleh filsuf politik Thomas Hobbes dalam "Leviathan" (1651), stabilitas politik hanya bisa terwujud ketika ada kontrak sosial yang kuat di antara warga negara dan pemerintah. Dalam hal ini, Pancasila adalah kontrak sosial yang mengikat seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara yang menyadari hal ini akan memahami pentingnya menjaga stabilitas politik dengan cara menyalurkan aspirasi mereka secara konstruktif dan damai, baik dalam Pilkada maupun dalam kehidupan sehari-hari. Kesimpulan Penjiwaan terhadap nilai-nilai Pancasila saat memperingati Hari Kesaktian Pancasila bukanlah sekadar ritual, tetapi sebuah refleksi moral yang relevan dalam setiap proses demokrasi, termasuk Pemilihan Kepala Daerah 2024. Masyarakat yang mampu memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila akan menyalurkan aspirasinya dengan cara yang lebih bijaksana, menghargai perbedaan, dan tetap berpegang pada prinsip persatuan dan keadilan. Dengan demikian, Pilkada 2024 bisa menjadi momentum untuk memperkuat demokrasi yang lebih matang dan bermartabat, sesuai dengan cita-cita luhur Pancasila. Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP. 


Selengkapnya
1529

Peran Kaum Gen Z dalam Partisipasi Pilkada Serentak Tahun 2024

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun 2024 menjadi momentum penting bagi generasi muda, khususnya Gen Z, untuk berperan aktif dalam proses demokrasi di Indonesia. Sebagai generasi yang tumbuh dengan akses luas terhadap teknologi dan informasi, Gen Z memiliki potensi besar untuk memberikan dampak signifikan terhadap keberhasilan Pilkada melalui partisipasi politik yang aktif, baik sebagai pemilih maupun agen perubahan dalam mendorong pemilu yang lebih transparan dan inklusif. Gen Z, yang terdiri dari individu yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, dikenal sebagai generasi yang melek teknologi, kreatif, dan memiliki akses cepat terhadap informasi. Karakteristik ini memungkinkan mereka untuk menjadi motor penggerak dalam menyebarkan informasi yang berkaitan dengan Pilkada, baik melalui media sosial maupun forum-forum digital lainnya. Sebagai generasi digital native, mereka dapat memanfaatkan platform media sosial untuk menyuarakan pendapat, mengedukasi sesama pemilih muda, dan memastikan bahwa isu-isu politik lokal mendapatkan perhatian yang layak. Menurut teori partisipasi politik yang dikemukakan oleh Verba, Schlozman, dan Brady (1995), terdapat empat dimensi partisipasi politik: *voting, **campaign activity, **contacting public officials, dan **community activities*. Gen Z dapat memainkan peran penting dalam keempat dimensi tersebut. Pertama, dalam dimensi voting, mereka berpotensi menjadi kelompok pemilih yang besar dan signifikan dalam menentukan hasil Pilkada. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa jumlah pemilih muda terus meningkat dari tahun ke tahun. Partisipasi Gen Z dalam Pilkada 2024 dapat menjadi penentu kemenangan kandidat yang memiliki visi dan misi yang relevan dengan isu-isu yang dihadapi generasi muda, seperti pendidikan, pekerjaan, dan perubahan iklim. Kedua, dalam aktivitas kampanye, Gen Z dapat terlibat secara aktif dalam menyuarakan dukungan terhadap kandidat yang mereka yakini melalui media sosial atau komunitas online. Dengan kemampuan digital yang mumpuni, mereka bisa menjadi penggerak utama dalam kampanye digital yang lebih efektif, menjangkau lebih banyak pemilih muda yang mungkin belum terlalu terpapar oleh politik tradisional. Mereka juga bisa menyebarkan informasi yang akurat dan menentang berita palsu (hoaks), yang seringkali menjadi masalah dalam proses demokrasi. Ketiga, dalam hal kontak dengan pejabat publik, Gen Z memiliki kesempatan untuk berkomunikasi langsung dengan calon kepala daerah, menuntut akuntabilitas, serta memperjuangkan aspirasi mereka. Sebagai generasi yang cenderung lebih kritis terhadap isu-isu sosial, mereka bisa menggunakan platform digital untuk meminta klarifikasi, dialog, atau debat dengan para kandidat. Ini akan mendorong calon kepala daerah untuk lebih responsif terhadap kebutuhan dan kekhawatiran generasi muda. Terakhir, dalam kegiatan komunitas, Gen Z dapat berperan sebagai aktivis lokal yang mempromosikan keterlibatan politik di tingkat akar rumput. Mereka dapat mendorong diskusi-diskusi komunitas tentang isu-isu lokal dan mengorganisir inisiatif yang mendukung proses demokrasi di daerah mereka. Secara keseluruhan, peran aktif Gen Z dalam Pilkada Serentak 2024 sangat penting untuk meningkatkan partisipasi politik dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Dengan kemampuan dan akses terhadap teknologi, mereka memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan yang mendorong terciptanya pemilu yang lebih transparan, inklusif, dan partisipatif. Sebagaimana dikatakan oleh Almond dan Verba dalam bukunya The Civic Culture (1963), “partisipasi politik yang luas adalah indikator dari kekuatan budaya demokrasi suatu negara.” Dengan demikian, partisipasi Gen Z dalam Pilkada 2024 akan mencerminkan keberlanjutan demokrasi di Indonesia yang semakin inklusif dan responsif terhadap perubahan zaman.   *Oleh : Muhadis Eko Suryanto*


Selengkapnya
670

Pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sebagai Bukti Transparansi dalam Pemilu 2024

Pemilu merupakan salah satu pilar demokrasi yang fundamental dalam sebuah negara, sehingga keterbukaan dan kejujuran dalam pelaksanaannya menjadi sangat krusial. Di Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus berinovasi dalam meningkatkan transparansi pemilu, salah satunya dengan menerapkan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pada Pemilu 2024. Sistem ini merupakan alat bantu yang mempermudah publik dalam mengakses informasi terkait perolehan suara secara langsung, sehingga mengurangi potensi manipulasi data dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu. Penerapan Sirekap mencerminkan komitmen KPU untuk menciptakan pemilu yang profesional. Sebagai alat yang didesain untuk merekapitulasi hasil pemilu secara cepat dan akurat, Sirekap memberikan akses publik ke informasi perolehan suara yang dapat diakses kapan saja. Sistem ini menjadi bukti nyata bahwa transparansi bukan hanya retorika, tetapi sebuah implementasi nyata untuk menjamin kredibilitas penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks teori transparansi, Farell (1989) menyatakan bahwa "transparansi dalam sistem pemerintahan atau lembaga publik bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian publik terhadap hasil keputusan atau kebijakan yang diambil." Penerapan Sirekap sejalan dengan prinsip ini, di mana keterbukaan terhadap data perolehan suara menghilangkan ruang bagi manipulasi, serta menciptakan rasa aman bagi publik bahwa suara mereka dihitung dengan adil. KPU secara eksplisit menyatakan bahwa "tidak ada yang disembunyikan" dalam proses penyelenggaraan pemilu dengan penerapan Sirekap, mempertegas bahwa keterbukaan informasi merupakan bagian integral dari suksesnya penyelenggaraan pemilu yang kredibel. Ketika masyarakat dapat dengan mudah mengakses dan memverifikasi data hasil pemilu, kepercayaan terhadap proses demokrasi meningkat. Keterbukaan ini menjadi mekanisme kontrol sosial bagi publik untuk memastikan bahwa hasil pemilu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sirekap juga memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama dalam mengakses informasi terkait perolehan suara di berbagai daerah. Dalam hal ini, penggunaan teknologi bukan hanya sekadar alat bantu, tetapi juga sarana untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di bidang demokrasi. Keterbukaan yang ditawarkan oleh Sirekap merupakan langkah maju dalam menjamin bahwa seluruh tahapan pemilu dapat diawasi secara independen oleh masyarakat, sehingga menciptakan pemilu yang lebih jujur, adil, dan akuntabel. Dengan demikian, Sirekap bukan hanya simbol teknologi modern dalam penyelenggaraan pemilu, tetapi juga alat penting untuk memperkuat transparansi yang menjadi pilar demokrasi.   Oleh : Muhadis Eko Suryanto


Selengkapnya
786

VOTER TURNOUT DAN KUALITAS PEMILU

Saya tidak begitu kaget ketika membaca berita kasus korupsi mantan Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba (AGK), biasa saja…. Saya hanya tersenyum ketika membaca inisial mantan Gubernur tersebut menggunakan akronim AGK, karena akronim tersebut mengingatkan pada sosok guru saya yang biasa kami muridnya menyematkan panggilan Mas “AGK” alias Abdul Gaffar Karim. Sampai saat ini masih terngiang di kepala saya ketika guru saya itu mengatakan “kenapa kita selalu mengkhawatirkan voter turnout (tingkat partisipasi pemilih), padahal seharusnya yang lebih khawatir terkait hal tersebut adalah partai politik”. Tanpa perlu merenung begitu panjang, saya mengamini pendapat tersebut, toh saya pikir kewajiban negara adalah menjamin hak sipil dan politik warga negaranya, alias menjamin setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat memilih untuk tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan tentunya memiliki kebebasan dalam memilih. Jika sekedar tingkat partisipasi pemilih yang harus digenjot, maka rezim Orde Baru punya resepnya. Pemilu tahun 1992 adalah buktinya. Pada waktu itu lebih dari 124 juta pemilih terdaftar dan tingkat partisipasi pemilih sebesar 112 juta atau sekitar 90,32%. Menteri dalam negeri kala itu, Yogie Suardi Memet mengklaim bahwa pemilu di Indonesia merupakan pemilu dengan partisipasi pemilih tertinggi di dunia (Schiller, 1999:1). Dalam pada itu, kita tahu bahwa pemilu era orde baru sudah dimanipulasi pemerintah dan hanya menjadi ritual yang disebut sebagai “pesta demokrasi” (Schiller, 1999:3). Apa yang terjadi di Indonesia pada masa lalu tidak jauh dengan apa yang terjadi di Korea Utara. dalam pemilu legislatif di Korea Utara, partisipasi pemilih nyaris mencapai 100%. Dalam pemilu tersebut, pemilih menerima surat suara dengan hanya satu nama yang terdapat di dalamnya. Tak ada yang harus diisi, tak ada kolom yang perlu dicontreng, pemilih hanya perlu membawa surat suara dan memasukkannya ke dalam kotak suara yang diletakkan di tempat terbuka (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-47519704). Memang tingginya partisipasi pemilih tidak melulu lekat dengan rezim otoritarian. Di Swedia misalkan, pada pemilu tahun 2022 jumlah partisipasi pemilih mencapai 84,21 persen dari pemilih yang memenuhi syarat. Swedia memang punya trend yang bagus dalam hal tingginya partisipasi pemilih yang tidak pernah kurang dari 80 persen sejak tahun 1950an. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah pemilih di Swedia, yakni kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi, dan penghormatan  terhadap sistem pemilu. (https://sweden.se/life/democracy/elections-in-sweden). Mas AGK menggunakan istilah token of membership untuk menggambarkan “pemilu” yang hanya dijadikan bukti bahwa sebuah negara negara menganut demokrasi (dalam Pamungkas, 1999:viii-ix). Walaupun melaksanakan pemilu, semua orang juga sudah mengetahui bahwa bagaimana otoriternya Indonesa di era orde baru dan Korea Utara kini.  Jadi tidak serta merta yang melaksanakan pemilu otomatis menjadi demokrasi. Dalam konteks kekinian, saya kok lebih khawatir melihat maraknya praktik politik uang yang begitu massif ketika pemilu. Hasil riset charta politika (dalam Amal, 2022:594) yang menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat di Indonesia menganggap biasa terhadap adanya praktik politik uang di dalam pemilu kiranya menjadi pertanda buruk bagi kualitas pemilu kita. Jadi gimana, masih khawatir tingkat partisipasi pemilih atau kualitas pemilunya? Oleh: Hendrasyah Putra


Selengkapnya