Opini

270

Pemisahan Pemilu : Peluang dan Tantangan Baru bagi KPU sebagai Penyelenggara

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU‑XXII/2024 pada 26 Juni 2025 yang menyatakan bahwa Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal harus dipisah merupakan tonggak penting dalam pembenahan sistem demokrasi Indonesia. Pemilu tidak lagi diselenggarakan serentak dalam satu hari, melainkan dibagi ke dalam dua tahap: Pemilu Nasional (Presiden, DPR, dan DPD) serta Pemilu Lokal (Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD). Putusan tersebut menetapkan bahwa pemisahan harus dilakukan dalam waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2,6 tahun. Perubahan ini secara langsung menghadirkan peluang sekaligus tantangan besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara utama pesta demokrasi. Selama ini, penyelenggaraan pemilu serentak dengan lima kotak suara dalam satu waktu menimbulkan beban berat, baik dari sisi logistik, sumber daya manusia, maupun risiko kelelahan petugas. Contoh kasus pada Pemilu 2019 tercatat 894 petugas yang meninggal dunia dan 5.175 petugas penyelenggara Pemilu mengalami sakit saat menjalankan tugas. Pemisahan ini memberi KPU peluang untuk mendekatkan diri dengan pemilih melalui edukasi politik yang lebih kontekstual. Kampanye dan sosialisasi tidak lagi tumpang tindih antara calon legislatif, kepala daerah, dan presiden. Ini memungkinkan pemilih memahami secara lebih utuh visi-misi para calon, meningkatkan kualitas pilihan politik masyarakat, dan memperkuat legitimasi hasil pemilu. Namun, pemisahan ini tidak datang tanpa konsekuensi. KPU menghadapi tantangan anggaran dan sumber daya yang tidak kecil. KPU akan mengelola dua proses pemilu besar dalam rentang waktu yang berdekatan, lengkap dengan dua tahap logistik, perekrutan petugas dua kali, dan dua siklus pengawasan. Ini memerlukan dukungan anggaran yang jauh lebih besar, sehingga efisiensi menjadi isu krusial yang tidak bisa diabaikan. Selain itu, KPU harus menghadapi kompleksitas baru dalam hal perencanaan waktu dan koordinasi antar lembaga, baik di pusat maupun daerah. Perubahan jadwal juga menuntut sinkronisasi ulang dengan lembaga seperti Bawaslu, DKPP, Kementerian Dalam Negeri, hingga pemerintah daerah. Revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun menjadi kebutuhan mendesak, agar KPU memiliki dasar hukum yang kuat dalam menyusun jadwal dan prosedur baru. Pemisahan pemilu adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. Ia membuka peluang untuk memperkuat kualitas demokrasi Indonesia, asalkan dijalankan dengan perencanaan matang, pengawasan ketat, dan partisipasi publik yang aktif. Bagi KPU Kabupaten Sekadau, ini adalah kesempatan untuk memperbaiki manajemen dan mengurangi beban kerja yang selama ini sangat berat, sekaligus tantangan besar dalam penyesuaian regulasi, sumber daya, dan koordinasi. Pemisahan pemilu adalah peluang emas dan KPU akan menjadi garda terdepan yang menentukan keberhasilan transformasi tersebut, khususnya KPU di Kabupaten Sekadau. Oleh : Radha Florida


Selengkapnya
146

Menjaga Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal: Refleksi KPU atas Implementasi Sistem Noken di Papua

Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki mandat konstitusional untuk menjamin setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam pelaksanaan tugas ini, kami menyadari bahwa Indonesia bukan hanya negara yang besar dari sisi geografis, tetapi juga sangat beragam dari sisi sosial, budaya, dan tradisi politik lokal. Salah satu bentuk nyata dari keberagaman itu adalah keberadaan sistem pemungutan suara noken di beberapa wilayah Papua. Sistem noken bukanlah pilihan sembarangan. Ia lahir dari praktik musyawarah dan pemufakatan khas masyarakat adat pegunungan Papua yang telah berlangsung turun-temurun. Dalam implementasinya, sistem noken dilakukan dengan dua bentuk utama, yakni metode perwakilan tokoh adat (model "big man") dan noken gantung. Keduanya berakar pada struktur sosial masyarakat yang masih menjunjung tinggi prinsip kolektivitas, di mana suara komunitas disampaikan secara bersama-sama oleh pemimpin adat sebagai bentuk tanggung jawab sosial, bukan dominasi. Sebagai pelaksana pemilu, KPU tidak hanya mengakui keberadaan sistem noken, tetapi juga menatanya secara sistematis dan legal. Legalitas sistem ini ditegaskan melalui sejumlah dasar hukum, di antaranya: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 yang menyatakan sistem noken adalah sah sepanjang merupakan ekspresi kearifan lokal yang telah digunakan sebelumnya; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 348 ayat (9) yang memberi ruang terhadap pengaturan khusus pada daerah tertentu sesuai kekhususan dan kearifan lokal; PKPU Nomor 3 Tahun 2019 sebagaimana telah diubah dengan PKPU Nomor 9 Tahun 2019, serta yang terbaru PKPU Nomor 17 Tahun 2024, yang memberikan ketentuan teknis mengenai penggunaan sistem noken/ikat di wilayah yang telah diidentifikasi dan diverifikasi. Serta diatur lebih teknis lagi dalam Keputusan KPU Nomor 810 Tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan pemungutan suara dengan sistem noken. Implementasi sistem noken juga tidak dilakukan secara serampangan. KPU melibatkan aparat pengawas, tokoh masyarakat, aparat keamanan, hingga saksi peserta pemilu dalam setiap proses pemungutan suara. Kami juga secara aktif melakukan pelatihan bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi yang bermartabat. Sistem noken bukanlah pengganti mekanisme demokrasi, tetapi bentuk adaptasi terhadap realitas geografis dan sosial di Papua, di mana akses yang sangat sulit, literasi pemilih yang masih rendah, serta sistem kepemimpinan komunal menuntut pendekatan yang berbeda. Dalam perspektif ilmiah, legal pluralism (Griffiths, 1986) mengakui bahwa hukum negara tidaklah tunggal dan harus hidup berdampingan dengan hukum adat dan norma sosial masyarakat. Maka, keberadaan sistem noken adalah contoh nyata penerapan pluralisme hukum dalam kerangka negara hukum demokratis. Lebih lanjut, teori demokrasi deliberatif dari Jurgen Habermas menyatakan bahwa proses politik yang ideal melibatkan diskusi kolektif yang rasional dan terbuka. Dalam banyak komunitas adat Papua, noken mencerminkan bentuk deliberasi tradisional yang tetap relevan, bahkan mampu mencegah konflik horizontal akibat kompetisi politik yang individualistis. Dalam praktik di lapangan, sistem noken telah terbukti menjaga stabilitas sosial, meminimalisasi potensi konflik, dan memungkinkan hak pilih masyarakat tetap tersalurkan meskipun infrastruktur, akses komunikasi, dan tingkat pendidikan belum merata. Di wilayah-wilayah seperti Kabupaten Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan Lanny Jaya, pelaksanaan coblos konvensional masih menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks ini, sistem noken adalah solusi realistis sekaligus legal yang dapat menjamin partisipasi rakyat tetap berlangsung. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak hanya menjaga kemurnian suara rakyat, tetapi juga berkomitmen pada prinsip inklusi sosial dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Kami terus mengevaluasi pelaksanaan sistem noken secara berkala, memastikan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip pemilu yang demokratis, dan menjadikannya bagian dari semangat "demokrasi yang membumi"—demokrasi yang hidup dan diterima oleh rakyat di tempatnya masing-masing. Akhirnya, kami meyakini bahwa sistem noken masih sangat relevan diterapkan di wilayah tertentu di Indonesia, selama pengaturannya dilakukan dengan transparan, akuntabel, serta berpijak pada prinsip-prinsip hukum dan HAM. Demokrasi sejati bukanlah keseragaman, tetapi kemampuan untuk mengakomodasi perbedaan secara adil dan bermartabat. Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP


Selengkapnya
77

Literasi Politik dalam Partisipasi Masyarakat Indonesia

“Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia.” –  Ir Soekarno Nah, seperti kata Bung Karno, pemuda punya kekuatan besar buat bikin perubahan. Tapi, perubahan itu cuma bisa terjadi kalau kita punya literasi politik. Literasi politik itu kayak peta yang bantu kita ngerti dunia politik, tahu hak kita, dan paham kenapa suara kita penting. Dengan literasi politik, kita bisa ikut campur dengan cerdas kayak ngelawan berita hoaks dan polarisasi dalam masyarakat, bukan cuma ikut-ikutan atau istilah kerennya FOMO atau malah cuek. Literasi politik itu simplenya bukan cuma tahu calon presiden atau partai yang lagi rame, tetapi lebih ke paham gimana sistem politik itu bekerja, terus hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan kenapa suara kita itu penting. Dengan literasi politik yang baik, masyarakat bisa lebih cerdas dan nggak cuman jadi penonton. Kalau ngeliat data hasil survei yang dilakukan oleh Mafindo untuk mengukur indeks literasi hoaks dan partisipasi politik yang dirilis November 2024, hanya 23,7 persen masyarakat yang memiliki literasi hoaks tinggi. Sedangkan 68,7 persen peserta ada di level sedang dan sisanya 7,6 persen ada di tingkat rendah. Meningkatkan literasi politik dan digital merupakan pekerjaan bersama bagi masyarakat Indonesia. (Kompas, 2024) Contoh kasus, pada Calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, konten palsunya membuat ia seolah-olah berbagi hadiah di sosial media, juga merupakan konten deepfake bukan dibuat olehnya. Padahal konten tersebut sudah disukai dan dikomentari ribuan kali oleh netizen (Kompas, 2024). Netizen yang percaya tentunya memiliki literasi politik yang rendah sehingga rentan menjadi korban hoaks. Ini penting untuk disadari agar masyarakat dapat menangani isu tersebut.  Lanjut ke partisipasi masyarakat, itu ibarat nyawanya demokrasi. Dalam sistem itu kalau rakyat gak ikut campur urusan pemerintah dan nyumbang ide buat kebijakan yang lebih baik terus siapa yang bakal ngawasin? Secara masyarakat itu pemegang kedaulatan tertinggi di demokrasi jadi kita dapat privilege atau hak pilih secara langsung ke calon presiden atau kepala pemerintahan dan legislatif yang kita mau. Terus PR buat kita bikin literasi politik lebih gampang mulai dari edukasi di sekolah seperti  pelajaran politik di sekolah dibikin asik dan ga kaku misalnya dengan bermain peran atau roleplay jadi calon pemimpin dan diskusi soal berita terkini.  Terus buat netizen ya harus filter  berita agar ga kejebak di berita-berita palsu yang makin marak dengan adanya AI atau Artificial Intelligence. KPU Sekadau juga berperan nih menjelaskan sistem-sistem pemilu dengan bahasa yang ringan buat netizen agar melek politik.   SUMBER Penulis : Rinaldo Farera  


Selengkapnya
48

Golput Itu Bukan Solusi, Tapi Tanda Ada yang Harus Diperbaiki

Golput atau golongan putih adalah sikap tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu. Golput bisa menjadi bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Memilih untuk tidak memilih bisa menjadi pernyataan moral yang kuat. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa angka partisipasi pemilih tidak pernah benar-benar mencapai angka ideal. Bahkan, di beberapa wilayah, jumlah pemilih yang golput bisa mencapai lebih dari 20%. Di Pilkada 2024, KPU Provinsi Kalimantan Barat mencatat angka golput sebesar 32,04% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 3.956.969 orang. Dengan kata lain, sebanyak 1.262.018 masyarakat di Kalbar tercatat golput. Apakah ini semata karena malas datang ke TPS? Tidak selalu. Banyak dari mereka yang golput karena merasa tidak ada satu pun calon yang benar-benar layak dipilih. Mereka kecewa dengan janji-janji politik yang tidak ditepati, muak dengan politisi yang hanya muncul saat kampanye, dan merasa suara mereka tak berdampak apa-apa. Golput, dalam konteks ini, bukanlah bentuk ketidakpedulian. Justru sebaliknya, ia lahir dari rasa peduli yang disertai rasa frustrasi. Menurut Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (2009), menjelaskan bahwa golput bisa muncul dari ketidakpuasan terhadap pilihan politik yang ada, yang sekaligus menunjukkan kepedulian terhadap kualitas demokrasi. Ia adalah kritik diam terhadap sistem yang dirasa tidak adil, penuh kepalsuan, dan hanya menguntungkan elit tertentu. Sayangnya, kritik ini sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan yang lebih sibuk mencari suara daripada memahami suara yang hilang. Namun, golput bukanlah solusi untuk memperbaiki keadaan. Tidak menggunakan hak pilih justru berpotensi memperlemah demokrasi, menurunkan tingkat partisipasi pemilih, dan mengurangi legitimasi hasil pemilihan. Jika banyak warga memilih golput, maka pemimpin yang terpilih bisa jadi tidak benar-benar mewakili aspirasi mayoritas rakyat, dan kualitas demokrasi pun terancam. Selain itu, pemilu dibiayai oleh dana publik, sehingga seharusnya setiap warga negara memanfaatkan hak pilihnya sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan terhadap proses demokrasi. Penting juga dipahami bahwa golput adalah hak politik setiap warga negara dan tidak dapat dipidana. Memilih atau tidak memilih sama-sama merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam sistem demokrasi. Namun, partisipasi aktif dalam pemilu tetap menjadi cara paling konstruktif untuk mendorong perubahan dan memperkuat pemerintahan yang berintegritas. Pendidikan politik harus diperkuat, transparansi partai dan kandidat perlu ditingkatkan, dan ruang partisipasi rakyat harus dibuka lebar, bukan hanya saat kampanye. Demokrasi tidak cukup hanya diselenggarakan, ia harus dirasakan. Ketika rakyat merasa dilibatkan dan dihargai, maka kepercayaan akan tumbuh, dan partisipasi akan meningkat secara alami. Golput adalah alarm bagi demokrasi kita. Alih-alih mematikannya, kita seharusnya mendengarkannya. Karena dalam setiap suara yang tidak digunakan, tersimpan harapan yang belum terpenuhi. Oleh : Radha Florida


Selengkapnya
36

Bagaimana Ego membentuk sebuah demokrasi

Saya akan membahas hal yang menarik akan ego yang di stereotip-kan oleh masyarakat sebagai hal yang buruk namun di sisi lain, kita sangat membutuhkan hal tersebut khususnya pada sistem politik demokrasi saat ini.  Menurut Sigmund Freund pada teori psikoanalisis, ego ialah komponen dalam pikiran sadar manusia (consciousness) yang bertanggung jawab akan pembuatan keputusan, pemecahan masalah serta keseimbangan primitif dan tuntutan sosial. Secara sederhana, ego itu rasa percaya diri  dan harga diri seorang manusia yang memiliki konotasi negatif seperti kesombongan dan fokus berlebihan kepada diri sendiri dalam masyarakat (society). Ego dalam sistem demokrasi khususnya pada saat pemilu berperan besar dalam memilih kandidat atas asas pribadi seseorang bukan hanya secara kolektif seperti tribalisme. Ego dalam mendorong pemilih secara sadar akan ekspresi diri atas hak suara individu serta keterlibatan pada diskusi publik. Manusia yang tidak mengikuti ego cenderung mendengarkan orang sekitar atau kelompok populis sehingga tidak memiliki kepastian serta keyakinan kuat atas visi dan kepentingan pribadi. Kelemahan tersebut dapat berdampak pada keputusan politik seseorang serta kehidupan sosial di kemudian hari. Contoh kasus ini ialah saat Serangan Fajar Amplop Putih isi Rp. 100.000 di saat Masa Tenang Pemilu 2024 di beberapa wilayah Jawa Tengah. Korbannya ialah KA seperti dilansir oleh Kompas.com (https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/12/200000865/kisah-amplop-putih-isi-rp-100-ribu-serangan-fajar-di-masa-tenang-pemilu?page=all). Saat warga tersebut masih berada di tempat tidur pada tanggal 12 Februari 2024, ia diketuk oleh orang tidak dikenal. Dari dalam kamar tersebut ia mendengar bahwa ibunya ditanya berapa orang yang mencoblos di rumah tersebut serta mengeluarkan amplop putih sebanyak hak pilih di rumah. Dalam kasus seperti ini ego dapat digunakan secara sadar untuk menolak politik uang serta tetap dengan pendirian memilih pemimpin sesuai kepentingan pribadi secara rasional bukan kepentingan kelompok yang menggunakan uangnya sebagai pertukaran untuk suara. Suara tersebut sangatlah mementukan nasib bangsa 5 tahun kedepannya sehingga kita sebagai pemilih harus lebih hati-hati akan serangan fajar tersebut serta kasus-kasus terkait. Namun, tentu saja terdapat tantangan dalam hubungan antara ego dan demokrasi. Pada suatu sisi ego tersebut dapat mendorong demokrasi dan pemilu yang “lebih sehat” tetapi juga dapat memicu polarisasi dan keputusan yang tidak rasional jika tidak diatasi dengan bijak. Untuk itu marilah kita meningkatkan literasi politik agar dapat menggunakan sistem demokrasi yang sehat dengan mengendalikan ego demi kepentingan bersama dengan menggunakan pemilu sebagai alat penyeimbang hal tersebut. Penulis : Rinaldo Farera


Selengkapnya
407

Media Sosial Sehat sebagai Pilar Pendidikan Pemilih di Era Digital

Setiap 10 Juni, Hari Media Sosial diperingati sebagai momentum refleksi tentang bagaimana kita memanfaatkan platform digital ini dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sekadau, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sarana strategis dalam membangun kesadaran politik dan memperluas pendidikan pemilih di era digital. Namun, seiring dengan manfaatnya, media sosial juga menyimpan potensi negatif seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi politik. Maka, penting bagi kita untuk menegakkan prinsip penggunaan media sosial yang sehat, beretika, dan bertanggung jawab. Dalam konteks pendidikan pemilih, penggunaan media sosial yang sehat berarti menyampaikan informasi kepemiluan secara jujur, inklusif, dan mudah dipahami oleh semua segmen masyarakat, khususnya generasi muda dan pemilih pemula. KPU Kabupaten Sekadau memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyampaikan jadwal dan tahapan pemilihan, tapi juga membentuk kesadaran kritis masyarakat terhadap pentingnya partisipasi politik yang rasional dan bebas dari manipulasi informasi. Teori literasi digital yang dikemukakan oleh Howard Rheingold dalam buku "Net Smart: How to Thrive Online" (versi revisi, 2022) menekankan pentingnya "crap detection" atau kemampuan mendeteksi informasi tidak valid sebagai kunci utama dalam penggunaan media sosial secara sehat. Rheingold menekankan bahwa di era banjir informasi, literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh informasi palsu yang kerap menyebar, terutama menjelang pemilihan umum. Lebih lanjut, dalam buku "Digital Citizenship in Schools: Nine Elements All Students Should Know" edisi terbaru (Ribble, 2022), disebutkan bahwa digital communication dan digital literacy adalah dua dari sembilan elemen kewargaan digital yang harus dimiliki masyarakat modern. Ini sejalan dengan upaya KPU Sekadau dalam mendidik pemilih untuk tidak hanya cerdas memilih, tetapi juga cerdas bermedia sosial—menyebarkan konten yang positif, menanggapi isu politik secara bijak, dan tidak terprovokasi oleh kampanye hitam. Dengan demikian, memperingati Hari Media Sosial harus menjadi ajang kampanye literasi digital dan pendidikan pemilih yang berkelanjutan. KPU Kabupaten Sekadau siap menjadi pelopor dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat, adil, dan mencerahkan dalam setiap momentum demokrasi lokal. Karena demokrasi yang sehat juga lahir dari ruang digital yang sehat. Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP


Selengkapnya