Opini

400

Pilkada Serentak, Polarisasi, dan Tantangan Keutuhan Bangsa

Pilkada serentak merupakan salah satu pilar penting dalam demokrasi Indonesia. Namun, di balik pelaksanaannya, terdapat tantangan yang tidak bisa diabaikan, yaitu potensi polarisasi yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Polarisasi ini sering kali muncul dalam bentuk isu kesukuan dan agama, yang dapat memperkeruh suasana politik dan memperlebar jurang perbedaan di masyarakat. Dalam konteks ini, teori konflik sosial yang dikemukakan oleh Lewis A. Coser menjadi relevan. Coser mengemukakan bahwa konflik, terutama yang berbasis identitas seperti suku dan agama, berpotensi mengarah pada disintegrasi sosial jika tidak dikelola dengan baik. Konflik tersebut dapat memperkuat batas-batas sosial yang ada, memperparah stereotip negatif, dan meningkatkan ketegangan antar kelompok. Pada Pilkada, sering kali kita melihat bagaimana isu kesukuan dan agama digunakan sebagai alat politik untuk meraih dukungan. Ini menciptakan polarisasi yang tajam di masyarakat, di mana identitas kesukuan dan agama menjadi penentu utama dalam memilih pemimpin. Akibatnya, masyarakat terpecah dan rasa persatuan bangsa menjadi terancam. Namun, tidak semua konflik harus berakhir pada disintegrasi. Coser juga menekankan bahwa konflik dapat menjadi sarana untuk menyelesaikan ketegangan, asalkan dikelola dengan mekanisme yang tepat. Dalam hal ini, Pilkada dapat menjadi peluang untuk memperkuat demokrasi dan keutuhan bangsa, jika dilakukan dengan cara yang inklusif dan adil. Pemerintah dan penyelenggara pemilu harus memastikan bahwa proses Pilkada bebas dari isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) yang dapat memecah belah bangsa. Pengawasan ketat terhadap kampanye hitam, pendidikan politik yang mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan kapabilitas calon, bukan identitas, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan adalah langkah-langkah yang harus diambil. Keutuhan bangsa adalah tanggung jawab kita bersama. Oleh karena itu, dalam menghadapi Pilkada serentak, kita harus bijak dalam menyikapi perbedaan dan menolak segala bentuk provokasi yang dapat memicu polarisasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mampu merangkul seluruh elemen bangsa, tanpa memandang latar belakang suku dan agama. Hanya dengan demikian, Pilkada serentak dapat menjadi momentum untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh : Muhadis Eko Suryanto


Selengkapnya
7175

KONTESTASI PILEG DAN BESARAN DAERAH PEMILIHAN

Ada hal yang kadang dilupakan sebelum maju dalam kontestasi pemilu legislatif (pileg). Walaupun terkesan sepele akan tetapi pemahaman terkait besaran daerah pemilihan (district magnitude) dapat membantu para kontestan untuk berfikir ulang untuk maju pada dapil tertentu atau tidak. District magnitude sendiri dapat diartikan seberapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam satu daerah pemilihan (dapil) atau sederhanya adalah berapa banyak jumlah kursi dalam suatu dapil (Pamungkas, 2009:23-24).  Besaran distrik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Berdasarkan jumlah kursi yang diperebutkan distrik jamak dikelompokkan menjadi kategori dapil kecil (2 sampai 5), dapil sedang (6 sampai 10), dan dapil besar (lebih dari 10) (Pamungkas, 2009:23-24). Dalam pemilu DPR di Kalimantan Barat misalkan, di mana Kalimantan Barat memiliki dua dapil yakni, kalbar 1 yang memiliki jumlah kursi 8 dan dapil kalbar 2 yang memiliki jumlah kursi 4. Dari dua dapil tersebut dapat kita lihat bahwa  dapil kalbar 1 masuk dalam kategori dapil sedang dan dapil kalbar 2 masuk dalam kategori dapil kecil. Dengan kondisi di mana partai politik peserta pemilu berjumlah 18 partai, maka hal ini berdampak pada besaran peluang yang dimiliki oleh setiap partai politik. Secara sederhana untuk dapil kalbar 1 dapat diartikan 8 kursi dibagi 18 partai, artinya setiap peserta pemilu hanya memiliki peluang untuk memperoleh kursi sebesar 44,44%. Adapun untuk dapil kalbar 2 jumlah kursi 4 dibagi 18 partai sehingga peserta pemilu hanya memiliki peluang untuk memperoleh kursi sebesar 22,22%. Dari kondisi di atas dapat kita pahami bahwa kontestasi di dapil kalbar 2 lebih berat daripada kontestasi di dapil kalbar 1. Pagi kandidat penantang misalkan, untuk mencoba peruntungan dalam kontestasi di dapil kalbar 2 setidaknya ia sudah memiliki informasi awal di mana dapil tersebut PDIP menjadi penguasa puncak perolehan suara terbanyak dan jumlah kursi terbanyak sebanyak 2 kursi pada pemilu 2019. Menurut hemat saya, kondisi ini menjadi salah satu penyebab jumlah kursi yang diperebutkan hanya sejumlah 50% dari jumlah keseluruhan kursi yang ada.  Walaupun dalam praktiknya banyak variabel yang menentukan seorang kandidat bisa duduk di senayan, akan tetapi berpikir ulang untuk melihat lebih dalam terkait persoalan yang kadang “disepelekan” ini setidaknya menjadi poin penting untuk menentukan di mana dapil yang kelak “anda” akan ikuti. Jagi gimana, sudah siap untuk menjadi penantang di pemilu 2029? Oleh: Hendrasyah Putra


Selengkapnya
7064

Menjadi Penjaga Demokrasi: Peran Vital Organisasi Kepemudaan dalam Pemilihan Kepala Daerah

Pendahuluan: Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan salah satu proses demokrasi yang sangat penting dalam menentukan arah kebijakan suatu daerah. Di tengah dinamika politik yang kerap kali penuh dengan intrik dan kepentingan, peran organisasi kepemudaan menjadi semakin signifikan dalam mendorong calon kandidat yang berkualitas serta mengawasi jalannya pemilihan agar tetap adil dan transparan. Sebagai agen perubahan, pemuda memiliki kapasitas untuk memperkuat kualitas demokrasi melalui partisipasi aktif dan kritis mereka dalam proses politik lokal. Pembahasan: 1. Mendorong Kandidat Berkualitas:    Organisasi kepemudaan memiliki potensi besar dalam mendorong munculnya kandidat-kandidat yang berintegritas dan memiliki visi yang jelas untuk memajukan daerah. Menurut teori partisipasi politik oleh Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dalam *Political Order in Changing Societies* (1971), salah satu elemen penting dari partisipasi politik yang sehat adalah keterlibatan aktif berbagai kelompok masyarakat, termasuk pemuda. Mereka dapat menjadi penggerak yang mendorong tokoh-tokoh potensial yang mungkin tidak memiliki akses ke struktur politik tradisional, namun memiliki kapasitas untuk memimpin. "The participation of various groups, especially the youth, is crucial in ensuring that the political process is inclusive and represents the broader society's aspirations." — Huntington & Nelson, 1971.    Dengan mengedukasi dan memobilisasi pemuda serta masyarakat luas, organisasi kepemudaan dapat memainkan peran penting dalam memastikan bahwa kandidat yang maju dalam Pilkada benar-benar mewakili kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. 2. Pengawasan Pemilu yang Independen:    Selain mendorong kandidat, organisasi kepemudaan juga memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya Pilkada. Dalam teori pengawasan sosial oleh Michel Foucault, disebutkan bahwa kekuasaan harus diawasi secara terus-menerus oleh publik untuk menghindari penyalahgunaan. Organisasi kepemudaan, dengan semangat dan akses mereka terhadap teknologi modern, dapat menjadi pengawas independen yang efektif. Mereka dapat memantau pelanggaran selama proses pemilihan, menyebarkan informasi yang benar, dan mencegah praktik-praktik kecurangan seperti politik uang. "Power must be supervised continuously by the public to prevent abuses; this is where the role of civil society organizations, including youth groups, becomes indispensable." — Michel Foucault.    Melalui keterlibatan mereka, organisasi kepemudaan dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh proses pemilihan, sehingga demokrasi dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. 3. Edukasi Politik dan Keterlibatan Masyarakat:    Pendidikan politik yang diberikan oleh organisasi kepemudaan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang tepat dan mengawasi jalannya Pilkada. John Dewey dalam *Democracy and Education* (1916) menyatakan bahwa pendidikan memainkan peran sentral dalam demokrasi, bukan hanya dalam membentuk warga negara yang kompeten tetapi juga dalam mengaktifkan partisipasi mereka. Dengan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, organisasi kepemudaan dapat meningkatkan partisipasi pemilih, terutama dari kalangan muda, serta mendorong keterlibatan yang lebih luas dalam proses politik. "Education is not just a preparation for life; it is life itself, especially in a democratic society where active participation is key." — John Dewey, 1916. Kesimpulan: Dalam konteks Pilkada, organisasi kepemudaan memegang peranan kunci dalam memperkuat kualitas demokrasi lokal. Dengan mendorong kandidat yang berintegritas, mengawasi jalannya pemilu, dan memberikan edukasi politik kepada masyarakat, mereka berkontribusi pada terciptanya pemerintahan yang lebih responsif dan akuntabel. Untuk itu, penting bagi organisasi kepemudaan untuk menjaga independensi dan tetap berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi, sehingga mereka dapat terus menjadi penjaga demokrasi yang efektif. Penutup: Sebagai agen perubahan, organisasi kepemudaan tidak hanya bertanggung jawab untuk mengkritisi dan mengawasi, tetapi juga untuk memberikan solusi konstruktif yang dapat memperbaiki proses politik di tingkat lokal. Dengan semangat, pengetahuan, dan integritas, mereka dapat menjadi kekuatan pendorong bagi demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP   


Selengkapnya
7398

MODAL POLITIK

Mungkin banyak yang bertanya-tanya kapan saatnya seseorang maju dalam kontestasi politik praktis. Maju menjadi kandidat dalam pemilu legislatif ataupun kepala daerah bukanlah suatu hal yang mudah, bahkan untuk “calon pelengkap” sekalipun. Maju sebagai kandidat dalam pemilu ataupun pilkada seseorang harus memiliki modal politik. Modal politik (political capital) sebagaimana merujuk pada konsep modal politik Pierre Bourdieu terdiri dari empat jenis modal politik, yakni modal ekonomi (materi), modal sosial (hubungan atau jaringan pertemanan), modal budaya (pendidikan), dan modal simbolik (reputasi, nama baik, kehormatan) (dalam Mas’oed dan Savirani, 2011:72-73). Bagi kaum mendang-mending misalkan, maju sebagai “calon pelengkap” paling tidak harus memiliki modal budaya. Yup, dalam hal ini menjadi calon anggota legislatif ataupun kepala daerah harus memiliki minimal ijazah SLTA atau sederajat. Modal sosial, dalam praktiknya modal ini biasanya sangat erat kaitannya dengan jejaring sosial seseorang. Dalam politik praktis di Negara kita biasanya modal sosial biasanya dikaitkan  dengan basis-basis organisasi keagamaan di mana menggaet kandidat yang memiliki basis organisasi keagamaan tertentu dapat memberikan dampak signifikan dalam mendulang perolehan suara (Pradana, 2020:417-438). Modal simbolik, dalam pengalaman saya jika ketika berkuliah di Yogyakarta, Ratu Kesultanan Yogyakarta sepertinya tidak perlu “bekerja keras” dalam kampanye DPD untuk lolos ke Senayan. Sebaliknya, Sultan Pontianak dalam Pemilu 2024 ini masih belum dapat menyaingi nama beken Petinju Daud Jordan. Ya begitulah modal simbolik bekerja, sangat tergantung dari ekosistem di mana simbol tersebut berada. Terakhir adalah modal ekonomi, secara praktis modal ini sangat erat kaitannya dengan kekuatan finasial seorang kandidat. Walaupun demikian banyak atau sedikitnya uang yang dimiliki oleh seorang kandidat terkadang tidak menjamin seseorang bisa lolos untuk duduk di parlemen. Dalam hemat saya, setidaknya keterpenuhan modal budaya, ekonomi dan social menjadi kunci utama jika serius ingin maju dalam kontestasi pemilu ataupun pilkada. Modal simbolik bagi saya dalam konteks ruang dan waktu masih menjadi sekedar “bonus” atau hanya kebutuhan tersier bagi seorang kandidat. Jadi gimana, sudah punya modal politik apa saja? Oleh: Hendrasyah Putra


Selengkapnya
8716

Bukti Kita dalam Mensukseskan Pemilihan Kepala Daerah: Membangun Negeri di HUT Indonesia 2024 !

Pada tahun 2024, kita merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia yang ke-79, momen yang sangat tepat untuk merenungkan peran penting setiap individu dalam pembangunan bangsa. Salah satu wujud nyata dari kontribusi individu adalah partisipasi aktif dalam proses pemilihan kepala daerah. Proses ini bukan hanya sebuah ritual demokrasi, tetapi juga sebuah bentuk bakti kita terhadap negeri yang tercinta. Pemilihan Kepala Daerah: Pilar Demokrasi dan Pembangunan Pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah salah satu pilar utama demokrasi di Indonesia. Melalui pilkada, rakyat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang mereka percaya dapat membawa perubahan positif dan memajukan daerahnya. Korelasi antara partisipasi individu dalam pilkada dan kesuksesan pembangunan daerah sangat erat dan signifikan. Korelasi Partisipasi Individu dan Kesuksesan Pilkada Pendidikan Politik dan Kesadaran Warga: Individu yang terdidik secara politik cenderung lebih memahami pentingnya memilih pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Edukasi politik ini dapat dilakukan melalui diskusi, seminar, dan kampanye yang memberikan wawasan tentang visi dan misi calon pemimpin. Kesadaran politik yang tinggi akan meminimalisir politik uang dan memilih berdasarkan kapabilitas, bukan sekadar popularitas. Partisipasi dalam Pemungutan Suara: Tingkat partisipasi dalam pemungutan suara merupakan indikator kesehatan demokrasi. Semakin banyak rakyat yang terlibat, semakin legitimitas hasil pemilu. Setiap suara yang diberikan adalah bentuk tanggung jawab dan kepedulian terhadap masa depan daerah. Pengawasan Proses Pemilihan: Individu juga dapat berperan dalam mengawasi jalannya pilkada. Dengan menjadi saksi atau pengawas pemilu, mereka dapat memastikan proses berjalan jujur, adil, dan transparan. Pengawasan ini penting untuk mencegah kecurangan dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan. Kritik dan Saran Pasca Pemilihan: Setelah pilkada, peran individu tidak berhenti. Mereka harus terus memberikan kritik dan saran konstruktif kepada kepala daerah terpilih. Keterlibatan aktif dalam forum-forum publik dan partisipasi dalam musyawarah perencanaan pembangunan daerah (musrenbang) adalah contoh bagaimana individu dapat terus berkontribusi. Bakti terhadap Negeri di HUT Indonesia 2024 Merayakan HUT RI tahun 2024 dengan semangat kontribusi dalam pilkada adalah wujud bakti kita terhadap negeri. Setiap tindakan, mulai dari mendidik diri sendiri dan orang lain tentang pentingnya pilkada, hingga berpartisipasi aktif dalam proses pemungutan suara dan pengawasan, adalah langkah nyata dalam membangun Indonesia yang lebih baik. Membangun Kesadaran Kolektif: Mari kita bangun kesadaran kolektif bahwa setiap suara dan setiap tindakan individu memiliki dampak besar terhadap masa depan daerah dan negara. Mengamalkan Nilai-Nilai Pancasila: Dengan berpartisipasi dalam pilkada, kita mengamalkan nilai-nilai Pancasila, terutama sila keempat, yang menekankan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Menjaga Integritas dan Kejujuran: Menghindari politik uang dan memilih dengan hati nurani adalah bentuk kejujuran dan integritas yang harus dijaga oleh setiap individu. HUT Republik Indonesia ke-79 adalah saat yang tepat untuk merenungkan dan memperkuat komitmen kita sebagai warga negara. Dengan turut mensukseskan pemilihan kepala daerah, kita tidak hanya memenuhi kewajiban sebagai warga negara, tetapi juga memberikan bakti terbaik bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Selamat HUT Republik Indonesia yang ke-79! Mari kita jadikan setiap tindakan kita sebagai bagian dari upaya besar untuk membangun Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera. (Admin) 


Selengkapnya