Opini

157

Kemerdekaan sebagai Fondasi Demokrasi Indonesia

Oleh: Muhadis Eko Suryanto, SIP Setiap bulan Agustus bukan sekadar perayaan seremonial kemerdekaan. Ini adalah momen refleksi bagaimana kemerdekaan yang kita raih 79 tahun lalu telah membuka pintu bagi berkembangnya demokrasi di negeri ini. Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas menentukan arah masa depan bangsa melalui kedaulatan rakyat. Sejak awal, perjuangan kemerdekaan Indonesia lahir dari cita-cita yang selaras dengan konsep demokrasi. Abraham Lincoln pernah menyebut demokrasi sebagai government of the people, by the people, for the people. Rumusan itu sejalan dengan semangat bangsa kita: pemerintahan yang berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat, dan untuk kepentingan rakyat. Pasca kemerdekaan, perjalanan demokrasi kita tidak selalu mulus. Indonesia pernah menjalani demokrasi parlementer, lalu bergeser ke demokrasi terpimpin, dan akhirnya menemukan pijakan yang lebih kokoh dalam Demokrasi Pancasila. Inilah sistem yang kita anut hingga hari ini berlandaskan nilai-nilai Pancasila, menjunjung keadilan, persatuan, serta kesejahteraan seluruh rakyat. Demokrasi bukan hanya teori di buku politik. Demokrasi adalah pekerjaan sehari-hari. Setiap pemilu, setiap daftar pemilih yang diverifikasi, setiap TPS yang dipersiapkan, semuanya adalah wujud konkret dari komitmen untuk memastikan rakyat benar-benar bisa menggunakan haknya. Partisipasi publik bukan sekadar formalitas, melainkan jantung dari demokrasi itu sendiri. Namun, demokrasi yang sehat tidak datang begitu saja. Ia harus dijaga. Tantangan yang kita hadapi hari ini mulai dari kemajemukan masyarakat, kesenjangan sosial, hingga godaan politik uang adalah ujian apakah kita benar-benar menghayati kemerdekaan yang diwariskan para pendiri bangsa. Di sinilah pentingnya semua pilar demokrasi bekerja, termasuk pers sebagai “pilar keempat” yang mengawasi jalannya pemerintahan dan menyuarakan aspirasi rakyat. Demokrasi yang transparan akan menjadi benteng bagi kedaulatan negara. Seperti yang diungkapkan Alexis de Tocqueville, “Kebebasan politik tidak dapat dipisahkan dari partisipasi aktif warga negara.” Momentum kemerdekaan mengingatkan kita: tugas menjaga demokrasi bukan hanya tanggung jawab KPU atau lembaga negara, tetapi tanggung jawab kita semua. Karena demokrasi adalah hadiah sekaligus amanah dari kemerdekaan dan amanah itu hanya akan lestari bila kita menjaganya bersama.


Selengkapnya
142

Bayar Pajak Tapi Tidak Menggunakan Hak Suara

         Berdasarkan data pilpres 2024, ada sekitar 18,22% angka golput dari 204,4 juta pemilih terdaftar (Luqman, 2025). Pemilih Golput atau Golongan Putih (abstention) sendiri adalah tindakan yang secara sengaja untuk tidak memilih dalam pemilu seringkali untuk bersikap netral dan menghindari konflik (Meriam-Webster, 2025).  Indikator yang mendukung kaum golput adalah termasuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sehingga memiliki hak suara namun tidak ikut memilih. Seringkali kaum golput hanya memandang kerugian itu hanya dari segi partisipasi politik tetapi lebih dari itu, tetapi juga dalam segi ekonomi khususnya pajak yang mereka bayarkan.         Pajak yang kita bayarkan dari belanja harian, penghasilan bulanan, hingga potongan di setiap transaksi digital adalah pendapatan negara. Pendapatan negara kemudian masuk ke kas negara yang selanjutnya menjadi APBN untuk belanja negara termasuk kebutuhan pemilu. Ketika golput tidak memilih,  mereka mengalami kerugian dalam memilih pemimpin yang mengelola APBN tersebut.            Ketika masyarakat memilih untuk golput, mereka juga secara langsung atau tidak langsung terdampak dari segala kebijakan yang diambil pemerintah seperti kebijakan di sector ekonomi, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dengan tidak memilih, golput kehilangan power untuk menentukan kebijakan pemerintah di kemudian hari.           Misalnya, warga Amerika Serikat yang tidak memilih pemimpin karena golput. Namun, kandidat populer yang maju membuat kebijakan perang dagang (Trade War) ke negara lain, sehingga barang impor seperti elektronik, pakaian serta mobil harganya naik berkali lipat. Bagi golput hal tersebut menghilangkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang “mungkin” lebih baik dalam kebijakan ekonomi, seperti yang berfokus pada negosiasi tanpa tarif tinggi. Akibatnya, masyarakat Amerika membayar lebih mahal untuk barang keperluan sehari-hari, yang sangat memberatkan keluarga dan individu berpenghasilan rendah. (Yale University's Budget Lab dalam Carlie et al, 2025)         Menurut Bertolt Brecht  “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik”. Inilah dampak buruk dari buta politik karena mempengaruhi entitas terkecil seperti individu hingga masyarakat yang dalam hal ini dilakukan oleh masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya (golput).            Sebagai warga negara yang baik seharusnya ikut andil dalam pemilu, selaian pembiayaan pemilu bersumber dari  persentase pajak yang dibayar oleh masyarakat, pemilu juga dikemudian hari menghasilkan pemimpin politik yang mengeluarkan kebijikan yang secara langsung berdampak bagi warga negara.   Penulis: Rinaldo Farera   Sumber: Carlie, et al. 2025. Tariff timeline: Tracking the evolution of Donald Trump's trade war. https://www.usatoday.com/story/graphics/2025/03/28/trump-tariff-tracker-timeline/82367214007/ Luqman, Rimadi. 2024. Tren Golput di Indonesia Turun atau Naik? https://www.liputan6.com/pemilu/read/5667461/tren-golput-di-indonesia-turun-atau-naik https://www.merriam-webster.com/dictionary/abstention Widyatama, Elvan. 2025. Indonesia Jadi "Donatur" Rahasia Trump, Harus Bayar Triliunan. https://www.cnbcindonesia.com/research/20250808102752-128-656299/indonesia-jadi-donatur-rahasia-trump-harus-bayar-triliunan    


Selengkapnya
70

Pemilu: Antara Perekat dan Pemecah Bangsa

Oleh: Muhadis Eko Suryanto, SIP. Pemilihan Umum (Pemilu) dalam sistem demokrasi modern merupakan pilar utama yang menjamin keterlibatan rakyat dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Melalui pemilu, rakyat diberi ruang untuk menggunakan hak konstitusionalnya guna memilih wakil dan pemimpin yang akan menjalankan pemerintahan. Namun demikian, dalam praktiknya, pemilu tidak hanya memiliki fungsi integratif, tetapi juga menyimpan potensi disintegrasi sosial-politik. Dalam pandangan klasik Giovanni Sartori (1997) dalam Comparative Constitutional Engineering, pemilu merupakan sarana untuk menyerap konflik secara damai melalui kompetisi politik yang diatur oleh hukum. Artinya, pemilu sejatinya adalah alat demokratisasi dan rekonsiliasi, yang memberi kesempatan kepada semua golongan untuk menyuarakan aspirasi secara setara. Ketika dijalankan secara jujur, adil, dan transparan, pemilu berperan sebagai perekat masyarakat yang majemuk. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu juga dapat menjadi pintu masuk bagi polarisasi dan konflik sosial, terutama apabila kepentingan politik dibungkus dengan identitas primordial seperti suku, agama, dan ras. Konflik kepentingan yang dikapitalisasi dalam bentuk politik identitas kerap memperuncing perbedaan dan menyulut perpecahan antar kelompok. Dalam hal ini, Chantal Mouffe (2000) dalam The Democratic Paradox mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang konsensus, tetapi juga bagaimana mengelola agonisme (pertarungan gagasan) agar tidak berubah menjadi antagonisme (permusuhan antar identitas). Realitas politik Indonesia dalam beberapa dekade terakhir membuktikan hal tersebut. Polarisasi dalam pemilu sering kali menyisakan luka sosial yang berkepanjangan. Media sosial memperkuat disinformasi, mempercepat penyebaran ujaran kebencian, dan memperdalam sekat antar kelompok. Ketika kompetisi politik tidak lagi dilihat sebagai persaingan ide dan program, melainkan sebagai perang eksistensial antar identitas, maka yang lahir bukan demokrasi yang sehat, melainkan keterbelahan sosial yang berbahaya. Oleh karena itu, menjaga penyelenggaraan pemilu agar berjalan sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL), serta taat pada peraturan perundang-undangan, menjadi kunci utama dalam merawat demokrasi. Dalam konteks ini, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat vital sebagai pengawas independen yang mampu mencegah pelanggaran dan meredam potensi konflik. Begitu pula dengan pengamat pemilu dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi, yang dapat menjadi penyeimbang dengan memberikan kritik konstruktif dan edukasi publik. Pengawasan yang aktif dan partisipatif dalam seluruh proses pemilu bukan hanya alat kontrol, tetapi juga fondasi penting dalam membangun kesadaran politik yang sehat dan demokrasi yang inklusif.


Selengkapnya
84

Eks Narapidana Caleg - Dilema Kepercayaan Publik dan Hak Politik Narapidana

Fenomena narapidana yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Indonesia menjelang Pemilu 2024 membuka ruang diskusi serius tentang integritas dan kualitas demokrasi di negeri ini. Di satu sisi, keberadaan puluhan eks narapidana, terutama yang terlibat kasus korupsi, dalam daftar bakal calon legislatif menimbulkan kekhawatiran mendalam akan masa depan parlemen yang seharusnya menjadi representasi rakyat sekaligus pengawal kepentingan publik. Bayangkan seorang mantan pejabat yang pernah menggelapkan dana publik, berdiri di panggung kampanye, menjanjikan perubahan dan integritas. Ia tersenyum, berbicara lantang tentang keadilan, seolah masa lalunya hanyalah bayang-bayang yang tak layak diungkit. Di belakangnya, baliho besar bertuliskan “Bersih, Jujur, Peduli” ironis, tapi nyata. Setidaknya 67 eks narapidana tercatat sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2024. Mereka terdiri dari 52 calon DPR RI dan 15 calon DPD RI, berasal dari hampir semua partai politik peserta pemilu, kecuali Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). (https://katadata.co.id/berita/nasional/650a5b467f3c8/67-eks-terpidana-berambisi-jadi-caleg-2024-ini-daftar-lengkapnya.) Mahkamah Konstitusi menegaskan, secara hukum para eks narapidana diperbolehkan maju dengan catatan mereka memenuhi syarat tertentu: transparan soal rekam jejak, menunggu lima tahun setelah bebas, dan bukan pelaku kejahatan berulang. Secara hukum, mereka sah. Tapi secara moral, apakah kita siap menerima mereka sebagai wakil suara rakyat? Keberadaan tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak pidana serius dalam dunia politik bukan hanya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, tetapi juga mengancam kualitas pengambilan kebijakan di tingkat legislatif. Publik tentu menginginkan wakil rakyat yang bersih, berintegritas, dan mampu menjadi teladan, bukan justru melanjutkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menghancurkan kepercayaan sosial. Tentu tidak semua eks narapidana harus dikucilkan dari ruang publik. Argumentasi bahwa eks narapidana sudah menjalani hukuman dan berhak mendapatkan kesempatan kedua juga perlu ditempatkan dalam proporsi yang adil. Prinsip reintegrasi sosial memang penting, tapi dengan catatan bahwa yang bersangkutan harus membuktikan komitmen nyata terhadap perubahan dan rekonsiliasi dengan masyarakat. Kita tidak sedang menolak hak politik seseorang. Kita sedang mempertanyakan standar integritas yang seharusnya menjadi fondasi parlemen. Karena wakil rakyat bukan sekadar jabatan, tapi cerminan nilai-nilai yang kita perjuangkan sebagai bangsa. Bandingkan dengan Swedia, negara yang dikenal memiliki tingkat partisipasi pemilih tinggi yang tidak pernah kurang dari 80 persen sejak tahun 1950an. Misalnya, pada pemilu tahun 2022 jumlah partisipasi pemilih mencapai 84,21 persen dari pemilih yang memenuhi syarat. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah pemilih di Swedia, yakni kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan penghormatan terhadap sistem pemilu. (https://sweden.se/life/democracy/elections-in-sweden) Sebaliknya, kasus narapidana menjadi caleg adalah contoh nyata bagaimana rendahnya integritas calon dapat mengikis kepercayaan publik. Ketika masyarakat meragukan integritas para calon legislatif karena rekam jejak pidana, terutama korupsi, maka kepercayaan publik tersebut menurun tajam. Penurunan kepercayaan ini berpotensi menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih karena warga merasa kelanggengan praktik buruk dan kurangnya representasi yang kredibel. Dalam konteks demokrasi yang sehat, tugas utama partai politik dan penyelenggara pemilu adalah menjaga kualitas calon legislatif dengan menyaring secara ketat rekam jejak dan kapasitas moral mereka. Jika tidak, suara rakyat yang dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi tidak akan pernah terwujud dengan baik di parlemen. Oleh karena itu, fenomena ini harus menjadi pembelajaran penting agar reformasi sistem politik dan regulasi pemilu terus diperkuat, demi mewujudkan parlemen yang bersih, kredibel, dan benar-benar mewakili rakyat. Tanpa itu, legitimasi dan keberlanjutan demokrasi Indonesia akan terus terancam. Penulis : Radha Florida


Selengkapnya
421

Tantangan Implementasi E-voting di Indonesia

Tantangan Implementasi E-voting Pemilu di Indonesia            Adopsi e-voting dalam Pemilu dan Pilkada merupakan tantangan reformasi birokrasi di Indonesia. E-voting adalah perhitungan suara dalam pemilu dengan menggunakan komputer atau peralatan yang terkomputerisasi (Cetinkaya et al, 2007). Dari definisi tersebut, e-voting merujuk pada adopsi teknologi untuk membantu perhitungan suara dalam pemilu dan pilkada.            E-voting di Indonesia telah dilaksanakan sejak tahun 2010 di Kabupaten Jembrana, penerapannya ada di pilkades Desa Mendoyo Dangin Tukad. Pemilihan kepala desa di Desa Mendoyo Dangin Tukad diatur dalam peraturan daerah nomor 1 tahun 2010 tentang pemilihan, pelantikan dan pemberhentian kepala desa. Pelaksanaan e-voting di desa ini telah mendapatkan legalitas dari Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga hasil pilkades dengan e-voting tersebut akuntabel. (Made et al, 2014) Sumber : INTI Group (inti.co.id), 2023.          Dalam pelaksanaannya, ada sekitar 2000 desa yang telah menggunakan sistem e-voting di Indonesia yang tersebar dari 15 provinsi dan 28 kabupaten termasuk Boyolali, Jembrani, Musi Rawas dan Indragiri Hilir. Dari trial yang dilaksanakan tersebut, e-voting mampu mengatasi masalah DPT ganda, beban anggaran serta efisiensi waktu penyelenggaraan pemilu. (INTI, 2023)           Jika kita membandingkan dengan negara demokrasi terbesar di dunia yakni India, mereka telah implementasikan e-voting sejak 1982 dengan menggunakan Electronic Voting Machines (EVMs). Setiap pemilih yang menggunakan mesin tersebut dicetak sebagai bukti dengan VVPAT (Voter Verifiable Paper Audit Trail) sebagai jejak audit untuk membangun kepercayaan serta transparansi (Aishwarya, 2025).           Beberapa faktor yang menyebabkan India pindah total dari surat suara kertas ialah biaya yang murah, yaitu hanya (200 dollar) atau sekitar (3.269.068 rupiah) per 28 Juli 2025, sederhana dan mudah digunakan, dapat bekerja dengan baterai, menyelamatkan 150.000 pohon untuk kertas suara dan kotak suara, mengurangi jumlah TPS karena dapat menampung banyak pemilih dan dapat digunakan kembali dengan pengaturan yang mudah. (Karthik G Maiya et al, 2018).                     Bukan cuma India yang sukses mengimplementasikan e-voting dalam pemilu seperti Brazil, Filipina dan Estonia dengan perangkat yang berbeda seperti EVM, GX-I serta PCOS. (Risnanto et al, 2020). Perangkat tersebut bahkan bisa digunakan tanpa koneksi internet dan menggunakan internet hanya untuk perhitungannya.              Kelebihan dari e-voting ialah perhitungan secara digital bisa dilakukan dengan menyetor data dari aplikasi atau mesin e-voting ke teknologi blockchain. Blockchain adalah block sederhana yang menyimpan informasi digital yang disimpan di berbagai komputer. (Aneem et al, 2019). Sehingga, dalam perhitungannya bisa disetor ke seluruh komputer dalam jaringan peer-to-peer. Ini penting untuk mencegah manipulasi data karena jika ingin mengubah informasi di satu komputer, maka perlu untuk merubah di semua komputer. Teknologi ini membantu dalam transparansi dan kepercayaan publik karena sesuai dengan asas pemilu yang Luber Jurdil.            Implementasi E-voting ini perlu banyak pertimbangan misalnya dari kerangka hukum, sumber daya manusia serta infrastruktur teknologi. Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia (Leila et al,  2024). Tantangan regulasi ini termasuk belum adanya UU yang mengatur soal E-voting dalam pemilu sehingga belum bisa dilaksanakan. Kemudian Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai karena butuh literasi teknologi yang matang sehingga dapat menggunakan aplikasii E-voting tersebut. E-voting ini perlu akses internet dan tidak semua wilayah di Indonesia ada akses Internet, contohnya di Kabupaten Sekadau banyak desa yang belum ada jaringan internet.         Kesimpulannya e-voting dalam memberikan kemudahan serta efisiensi dalam penyelenggaraannya namun tantangan implementasi seperti transfer teknologi, kerangka hukum, serta Sumber Daya Manusia (SDM) membutuhkan koordinasi dan kerjasama dari pembuat kebijakan dan pelaksananya serta peran masyarakat sipil untuk menciptakan sistem demokrasi yang akuntabel dan transparan sehingga output hasil pemilu bisa dipercaya oleh publik.   Penulis : Rinaldo Farera             Aishwarya. 2025. Why India's electronic voting machines are simplest and most secure in world. https://www.indiatoday.in/india/story/why-india-electronic-voting-machines-evm-are-simplest-and-most-secure-in-world-2707815-2025-04-13 Aneem et al, (2019). Introduction to Blockchain. https://www.researchgate.net/publication/343601688_Introduction_to_Blockchain Cetinkaya, O., & Cetinkaya, D. (2007). Verification and validation issues in electronic voting. The Electronic Journal of E-Government, 5(2), 117–126. Diakses dari http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.90.155&rep=rep1 &type=pdf  IBM. (2025). What are smart contracts on blockchain?. https://www.ibm.com/think/topics/smart-contracts INTI. 2023. Sukses Rampungkan Pilkades Elektronik pada Ribuan Desa, INTI Group Jadi Satu-Satunya Pemegang Legalitas Sistem e-Voting. https://www.inti.co.id/?p=12076#:~:text=Kepala%20Dinas%20Komunikasi%20dan%20Informatika,pada%2030%20Mei%202023%20lalu Karthik G Maiya, Vineesha. T, Veena G, and Sujay S.N. 2018. Secured Electronic Voting System Using Biometrics. Ncesc - 2018 6(13): 1–5. Leila et al. (2024). Indonesia, the world's third largest democracy, has voted for a new president. https://www.npr.org/2024/02/14/1231313647/indonesia-the-world-s-third-largest-democracy-has-voted-for-a-new-president Made et al. Implementasi Kebijakan Penerapan Elektronik Voting (E-Voting) Dalam Pemilihan Kepala Desa https://media.neliti.com/media/publications/165240-ID-implementasi-kebijakan-penerapan-elektro.pdf Risnanto, Slamet. 2013. Merubah Sistem Pemilihan Kepala Daerah Dari Konvensional Ke Digital (E-Pilkada). Jurnal Online Sekolah Tinggi Teknologi Mandala 6(1): 103–7  


Selengkapnya
75

Pemilu Telah Usai, Tanggung Jawab KPU Belum Usai

Pemilu sudah selesai, spanduk sudah diturunkan, bilik suara dilipat kembali, dan masyarakat perlahan kembali ke rutinitas harian. Di layar televisi, kita lihat hasil perolehan suara diumumkan, kursi-kursi di parlemen mulai terbentuk, dan wajah-wajah baru (atau lama) sudah mulai ramai dibicarakan. Lalu muncullah satu pertanyaan sederhana: "KPU tugasnya sudah selesai, ya?". Bayangkan sebuah pesta besar yang telah selesai digelar. Semua tamu sudah pulang, musik sudah berhenti, dan lampu mulai dipadamkan. Namun, di balik layar, masih ada orang-orang yang sibuk membereskan segala sesuatunya, memastikan tidak ada yang tertinggal, dan menyiapkan acara berikutnya agar lebih baik. Begitulah Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja setelah pemilu. Ketika pemilu usai, banyak orang berpikir bahwa tugas KPU pun ikut usai. KPU seolah hanya hadir saat masa kampanye tiba, saat masa pencoblosan, dan saat hasil diumumkan. Tapi sesungguhnya, perjalanan KPU tidak selesai di sana. Justru ketika panggung Pemilu mereda, tanggung jawab KPU memasuki fase yang lebih senyap namun tak kalah penting. Kita jarang melihat kerja-kerja sunyi yang dilakukan setelah pesta demokrasi berakhir. Bagaimana mereka mengevaluasi sistem rekapitulasi suara, memperbaiki data pemilih yang masih bermasalah, menyiapkan laporan pertanggungjawaban, bahkan menghadapi gugatan dari peserta pemilu yang tidak puas. Semuanya menjadi bagian dari tugas KPU yang tak pernah usai. Di luar aspek teknis, KPU juga punya tanggung jawab moral untuk menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi. Di tengah berbagai kritik, tantangan teknologi, hingga berita hoaks yang beredar, KPU harus tetap berdiri tegak sebagai penyelenggara yang independen dan profesional. Tidak hanya itu, KPU juga memikul peran penting dalam mendidik masyarakat. Literasi politik, terutama bagi generasi muda dan kelompok rentan, membutuhkan perhatian berkelanjutan. Menumbuhkan partisipasi aktif dan menjaga semangat demokrasi tidak cukup dilakukan menjelang hari pencoblosan saja, tapi harus menjadi bagian dari keseharian bangsa. Demokrasi bukanlah ritual lima tahunan, melainkan proses yang hidup dan dinamis. Dan dalam proses itu, KPU bukan sekadar pelaksana teknis, melainkan penjaga nilai-nilai demokrasi. Maka jawabannya jelas: tugas KPU tidak berakhir setelah Pemilu. Ia hanya berubah bentuk, menjadi lebih halus, namun jauh lebih mendalam. Dengan memahami hal ini, kita bisa lebih menghargai peran KPU dan pentingnya dukungan masyarakat untuk menjaga proses demokrasi yang sehat dan berkelanjutan. Pemilu memang momen penting, tapi tugas menjaga demokrasi adalah perjalanan panjang yang tidak pernah berhenti. Penulis : Radha Florida


Selengkapnya