Peran Media Sosial dalam Dinamika Berita Politik

Dulu, berita politik hanya bisa kita temukan di koran pagi, siaran televisi, atau radio. Prosesnya lambat, disaring oleh redaksi, dilakukan proses editorial ketat, dan dikemas dengan bahasa formal. Kini, semua berubah. Media sosial menjadi panggung utama di mana berita politik bukan hanya dikonsumsi, tetapi juga diproduksi oleh siapa saja. Dengan satu unggahan, informasi politik bisa menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik, tanpa melewati gerbang redaksi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa medsos memberi suara bagi mereka yang sebelumnya tak terdengar. Aktivis, warga biasa, bahkan kelompok marginal kini punya panggung untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Dengan kemudahan akses dan kecepatan informasi yang ditawarkannya, media sosial menjadi platform utama bagi masyarakat untuk mendapatkan berita politik secara real-time. Namun, peran ini memiliki dua sisi yang saling bertentangan.

Di satu sisi, media sosial memberikan ruang yang luas bagi berbagai suara dan sudut pandang politik. Informasi yang sebelumnya mungkin sulit dijangkau oleh masyarakat umum kini bisa tersebar dengan cepat, mendorong partisipasi publik dalam diskusi dan debat politik. Hal ini memungkinkan masyarakat menjadi lebih kritis dan aktif dalam mengawal jalannya proses demokrasi.

Misalnya ketika pemerintah mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung ke tidak langsung melalui DPR, masyarakat secara masif menggunakan komentar, tagar, dan unggahan untuk menyuarakan hak politiknya, sehingga perdebatan yang dulu terbatas di jalanan kini bergeser menjadi partisipasi publik digital yang lebih luas, beretika, dan terdidik.

Namun di sisi lain, media sosial juga rawan menjadi ajang penyebaran berita palsu atau hoaks yang dapat membingungkan publik dan memicu konflik sosial. Algoritma yang mengedepankan konten viral sering kali memperkuat bias informasi yang membuat masyarakat cenderung terjebak di dalam “gelembung informasi” yang memperkuat pandangan mereka tanpa memberikan ruang untuk perspektif lain.

Contohnya saat menjelang Pemilu 2019, beredar luas di media sosial sebuah hoaks yang menyebutkan bahwa ada tujuh kontainer berisi surat suara tercoblos untuk pasangan calon tertentu yang ditemukan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Hoaks ini viral dalam waktu singkat dan menimbulkan keresahan politik karena dianggap mengindikasikan kecurangan pemilu yang terstruktur. KPU bersama Polri langsung membantah kabar tersebut setelah melakukan pengecekan ke Tanjung Priok. Kasus ini dicatat oleh Kementerian Kominfo dan Bawaslu sebagai salah satu hoaks politik terbesar yang menyerang kredibilitas penyelenggara pemilu.

Oleh karena itu, peran media sosial terhadap berita politik harus diimbangi dengan literasi digital yang baik. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk memverifikasi informasi dan memahami konteks berita sebelum membagikannya. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi alat yang efektif dalam mendukung demokrasi dan memperkaya wawasan politik masyarakat, bukan menjadi sumber perpecahan dan disinformasi.

Secara keseluruhan, media sosial adalah pedang bermata dua yang harus digunakan dengan bijak agar mampu membawa manfaat positif bagi perkembangan berita politik dan kualitas demokrasi di Indonesia. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjadikan media sosial bukan sekadar alat propaganda, tapi sarana literasi politik yang sehat. Sebab, di era ini, siapa yang menguasai medsos, dialah yang menguasai narasi.

Penulis : Radha Florida

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 79 Kali.