Headline

#Trending

Informasi

Opini

Memahami Orang Memilih dengan Pendekatan Perilaku Politik

Untuk memahami kenapa orang memilih saat pemilu, kita perlu melihat bahwa banyak orang mengambil keputusan politik dengan cara cepat dan sederhana. Kebanyakan pemilih tidak punya waktu untuk mempelajari semua informasi, sehingga mereka memakai jalan pintas seperti melihat partai, citra kandidat, atau hal-hal yang mudah dikenali. (Poppin, 1991). Ini membuat proses memilih tidak selalu berdasarkan analisis yang dalam, tetapi lebih pada cara berpikir praktis sehari-hari. Pilihan politik seseorang juga sangat dipengaruhi oleh identitas diri. Manusia cenderung merasa bagian dari kelompok tertentu seperti kelompok agama, budaya, atau komunitas sosial, dan pilihan politik sering mengikuti rasa kebersamaan tersebut. Teori Identitas Sosial menjelaskan bahwa orang mendukung kelompok yang mereka anggap mewakili diri mereka (Tajfel & Turner, 1979). Emosi juga memainkan peran besar dalam keputusan memilih. Penelitian menunjukkan bahwa rasa takut bisa membuat seseorang lebih berhati-hati dan ingin mencari informasi tambahan, sementara rasa marah dapat memperkuat motivasi untuk membela kelompoknya. Emosi positif seperti antusiasme dapat memperkuat dukungan terhadap kandidat tertentu (Marcus et al., 2000). Efek emosional ini sering kali lebih kuat pengaruhnya daripada perdebatan kebijakan yang panjang. Keputusan memilih juga merupakan tindakan sosial. Banyak orang merasa terdorong memilih ketika keluarga, teman, atau lingkungannya juga aktif berpartisipasi. Penelitian lapangan menunjukkan bahwa tekanan sosial dan ajakan dari orang sekitar dapat meningkatkan partisipasi pemilih secara signifikan (Gerber et al., 2008). Ini berarti seseorang tidak memilih sendirian karena keputusan mereka dipengaruhi oleh suasana sosial di sekitarnya. Secara keseluruhan,  dalam memahami pilihan seseorang di bilik suara bukan hanya soal logika atau perhitungan rasional. Namun, berpikir cepat, identitas diri, emosi, dan pengaruh lingkungan sosial semuanya turut menentukan pilihannya. Pendekatan perilaku politik membantu kita memahami bahwa perilaku memilih sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena dipenuhi perasaan, kebiasaan, dan interaksi sosial. Penulis : Rinaldo Farera SUMBER : Gerber, A. S., Green, D. P., & Larimer, C. W. (2008). Social pressure and voter turnout: Evidence from a large-scale field experiment. American Political Science Review, 102(1), 33–48. Marcus, G. E., Neuman, W. R., & MacKuen, M. (2000). Affective intelligence and political judgment. University of Chicago Press. Popkin, S. L. (1991). The reasoning voter: Communication and persuasion in presidential campaigns. University of Chicago Press. Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. In W. G. Austin & S. Worchel (Eds.), The social psychology of intergroup relations (pp. 33–47). Brooks/Cole.  

Penyelenggaraan Pemilu di Negara Multikultural

Oleh : Lidia Wenny Penyelenggaraan pemilu di negara multikultural selalu menghadirkan tantangan tersendiri. Keberagaman etnis, bahasa, agama, dan identitas politik membuat proses elektoral bukan sekadar perhitungan suara, tetapi juga proses membangun rasa kebersamaan di tengah perbedaan. Peneliti pemilihan umum menegaskan bahwa legitimasi demokratis jauh lebih kuat ketika seluruh kelompok merasa terwakili dan memiliki akses setara untuk berpartisipasi (Lijphart, 1977). Karena itu, negara multikultural biasanya menekankan inklusivitas, aksesibilitas, dan mekanisme yang mampu menjembatani keragaman tersebut. Dalam banyak kasus, negara harus memastikan bahwa proses pemilu menjangkau seluruh wilayah dan komunitas, termasuk mereka yang tinggal di area terpencil atau memiliki karakteristik sosial yang berbeda. India sering dijadikan contoh klasik. Meskipun sudah menggunakan Electronic Voting Machine (EVM), penyelenggara pemilu India tetap menghadapi tantangan besar berupa distribusi perangkat pemungutan suara ke wilayah-wilayah yang sulit diakses, dari desa di pegunungan, komunitas kecil di pedalaman, hingga pulau terpencil. Tantangan ini menunjukkan bahwa teknologi memang membantu efisiensi, tetapi akses fisik untuk memastikan setiap warga dapat memberikan suara tetap menjadi pekerjaan besar di negara dengan keragaman geografis sekaligus multikulturalisme yang kuat. Selain itu, pemilu di negara multikultural menuntut pengelolaan narasi publik agar tidak terjebak pada politik identitas yang sempit. Horowitz (1985) menekankan bahwa kompetisi elektoral dalam masyarakat majemuk rentan memicu polarisasi jika tidak diimbangi dengan mekanisme representasi yang adil. Karena itu, beberapa negara menerapkan kebijakan afirmatif, pembagian daerah pemilihan khusus, atau model representasi proporsional untuk memastikan kelompok minoritas tetap memiliki ruang politik. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu bukan hanya administrator prosedural, tetapi juga aktor penting dalam menjaga stabilitas sosial. Akhirnya, kekuatan penyelenggaraan pemilu di negara multikultural terletak pada kemampuan sistem untuk mengakui keragaman tanpa membelah masyarakat. Pemilu yang inklusif, dapat diakses, dan dirancang untuk merangkul keberagaman menjadi fondasi penting bagi konsolidasi demokrasi. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa ketika semua kelompok merasa dihitung dan dihargai, hasil pemilu tidak hanya mencerminkan preferensi politik, tetapi juga memperkuat kepercayaan sosial yang menjadi inti dari demokrasi itu sendiri.

Pahlawan Tak Selalu Bertoga atau Berseragam

Di tengah arus informasi yang deras dan tantangan sosial yang kompleks, definisi pahlawan tak lagi terbatas pada mereka yang berjuang di medan perang atau berdiri di podium kehormatan. Pahlawan masa kini hadir dalam berbagai wajah dan peran, sering kali tanpa sorotan kamera atau tepuk tangan publik. Mereka adalah para guru honorer di pelosok negeri yang tetap mengajar meski gaji tak sepadan. Mereka adalah tenaga kesehatan di desa terpencil yang rela berjalan kaki berjam-jam demi menjangkau pasien. Mereka adalah anak muda yang membangun gerakan literasi digital untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian. Mereka adalah ibu rumah tangga yang menjadi motor komunitas, menggerakkan ekonomi lokal dengan usaha kecil yang memberdayakan perempuan sekitar. Kepahlawanan hari ini bukan soal seragam, pangkat, atau gelar. Ia adalah tentang keberanian untuk peduli, konsistensi dalam berbuat baik, dan keteguhan dalam menghadapi ketidakadilan. Di era digital, pahlawan bisa jadi seorang konten kreator yang menyuarakan isu-isu sosial dengan cara yang kreatif dan edukatif. Jurnalis independen yang tetap menulis fakta meski tekanan datang dari berbagai arah. Ia bisa jadi relawan yang mendampingi korban kekerasan, atau mahasiswa yang menginisiasi gerakan lingkungan di kampusnya. Mereka mungkin tak tercatat dalam buku sejarah, tapi jejak mereka nyata dalam kehidupan masyarakat. Mereka menginspirasi, menggerakkan, dan memberi harapan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, pahlawan-pahlawan ini menjadi bukti bahwa kebaikan masih hidup, dan perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil. Pahlawan masa kini adalah jika kita memilih untuk tidak diam, jika kita berani bertindak, dan jika kita percaya bahwa setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah bentuk keberanian yang layak dihargai. Penulis : Radha Florida

Tantangan Calon Independen dalam Pemilu

Calon independen adalah perwujudan paling murni dari demokrasi. Dalam sistem yang ideal, kekuasaan politik seharusnya kembali kepada individu yakni kepada warga negara yang memiliki gagasan, integritas, dan tekad untuk mengabdi, bukan kepada simbol partai atau kepentingan oligarki. Contohnya, di Athena, ibu kota Yunani abad ke-5 SM, demokrasi lahir tanpa partai politik. Di bukit Pnyx, warga bebas berdiri dan berbicara. Keputusan lahir dari debat terbuka, bukan dari perintah elit atau kesepakatan dapur politik. Pemimpin seperti Perikles dan Kleon bukanlah hasil kompromi partai, tetapi hasil dari karisma dan keyakinan pribadi. Itulah semangat sejati calon independen. (Sacha et al, 2018) Namun di era modern, calon independen berjalan di jalan terjal. Demokrasi telah diselimuti struktur birokratis dan jaringan partai yang begitu kuat. Untuk sekadar mencalonkan diri, mereka harus menghadapi rintangan administratif yang tinggi seperti verifikasi dukungan rakyat dalam jumlah besar, biaya politik yang tak sedikit, dan minimnya akses ke logistik serta media. Dalam kontestasi yang modal finansial yang besar dan strategi komunikasi, idealisme sering tenggelam di balik baliho raksasa partai. (Yogi, 2024) Lebih dari sekedar urusan teknis, tantangan terbesar calon independen adalah persepsi publik. Banyak yang masih memandang bahwa kekuasaan hanya bisa diraih melalui partai. Seolah-olah seseorang yang berdiri sendiri tak punya cukup kekuatan untuk memimpin. Padahal justru di sanalah letak keistimewaan calon independen dibanding dari partai politik karena ia bebas dari kompromi politik, tidak terikat oleh kepentingan kelompok, dan hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Ross Perot, misalnya, pengusaha kaya yang maju sebagai calon presiden independen Amerika Serikat pada 1992, berhasil mengguncang tatanan politik dua partai. Dengan isu efisiensi ekonomi dan antipolitik konvensional, Perot meraih hampir 19% suara populer sebagai prestasi luar biasa tanpa dukungan partai. Namun, sistem elektoral AS yang berbasis “pemenang mengambil semua”  (winner-take-all system) membuatnya tidak mendapatkan satu pun suara. Calon independen adalah pengingat bahwa demokrasi tidak boleh didominasi oleh partai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap politik transaksional dan keberanian untuk maju mandiri. Maka, untuk menghargai kedaulatan rakyat, seharusnya jalan bagi calon independen sehrusnya tidak dipersulit, melainkan dipermudah karena dari merekalah, suara rakyat murni bisa datang. Sumber : Kapoor, Sacha & Magesan, Arvind. 2018. “Independent Candidates and Political Representation in India.” American Political Science Review, Vol. 112, No. 3, hlm. 678-697. DOI: 10.1017/S0003055418000199. Prasetyo, Yogi. 2024. “Besarnya Syarat Dukungan Calon Independen dalam Pilkada: Auto Kritik Hukum terhadap Demokrasi Indonesia.” Jurnal Konstitusi, Vol. 21, No. 2. DOI: 10.31078/jk2124.    

Mengapa Kita Memilih Kadidat Yang Tidak Kita Percaya

Oleh: Lidia Wenny Fenomena masyarakat yang memilih kandidat yang sebenarnya mereka ragukan bukanlah hal baru dalam pemilu. Banyak orang mengira hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan politik atau rendahnya literasi informasi. Namun, penelitian dalam bidang psikologi politik menunjukkan bahwa keputusan memilih tidak hanya ditentukan oleh akal sehat atau data, melainkan juga oleh identitas sosial dan relasi kekuasaan di lingkungan terdekat (Aspinall & Berenschot, 2019). Dalam konteks banyak komunitas di Indonesia, pilihan politik seseorang sering kali tidak berdiri sendiri. Pilihan itu terikat pada keluarga, tokoh lokal, jaringan pekerjaan, atau figur yang dianggap berjasa. Di beberapa desa, misalnya, tokoh masyarakat atau tokoh agama dapat memberikan arahan dukungan, dan anggota komunitas mengikuti bukan karena diperintah, tetapi karena loyalitas dan rasa menghormati hierarki sosial. Ini menunjukkan bahwa memilih adalah tindakan sosial, bukan hanya tindakan politik. Pemilih mungkin mengetahui rekam jejak kandidat yang bermasalah, korupsi, kinerja buruk, atau ketidakpekaan sosial. Namun, memilih berbeda dapat menimbulkan risiko, dikucilkan keluarga, hubungan kerja terganggu, atau dianggap tidak kooperatif dalam lingkungan sosial. Dalam situasi seperti ini, stabilitas hubungan sosial dianggap lebih penting daripada integritas politik. Teori psikologi sosial menyebutnya normative social influence, kecenderungan mengikuti pilihan kelompok demi diterima dan menghindari konflik (Cialdini, 2003). Di sisi lain, ada pula faktor ketergantungan ekonomi. Di beberapa wilayah, akses bantuan, pekerjaan proyek, atau kedekatan dengan pejabat lokal masih menjadi sumber keamanan ekonomi. Dari sini, pilihan politik menjadi bentuk transaksi perlindungan, sebuah cara untuk mempertahankan rasa aman di kehidupan sehari-hari. Maka, pemilu bagi sebagian masyarakat bukan hanya arena ide, tetapi arena bertahan hidup. Situasi ini menciptakan paradoks, secara hukum suara adalah hak pribadi. Namun dalam praktik sosial, suara sering menjadi tanggung jawab kelompok. Di sinilah tantangan penyelenggaraan pemilu berada. KPU dapat terus meningkatkan kualitas sosialisasi, Bawaslu dapat memperketat pengawasan, dan DKPP dapat menjaga etika penyelenggara. Tetapi selama dimensi sosial dan budaya tidak disentuh, orientasi memilih tetap bertumpu pada loyalitas, bukan kemampuan kandidat. Karena itu, pendidikan pemilih seharusnya tidak berhenti pada informasi tentang cara mencoblos atau konsekuensi politik uang. Ia perlu menyentuh kemampuan warga untuk berpikir mandiri dalam ruang yang aman. Bukan mengajak mereka melawan komunitasnya, tetapi memberi ruang refleksi bahwa peduli pada hubungan sosial tidak harus berarti menyerahkan suara hati sepenuhnya. Pemilu yang baik bukan hanya yang berjalan tertib, tetapi yang memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menggunakan suaranya sebagai ekspresi kesadaran, bukan sekadar penyesuaian terhadap tekanan lingkungan.

Publikasi