Headline

#Trending

Informasi

Opini

Perhatian akan memenangkan pemilu

             Pada tahun 1958 di kota kecil Illnois, Amerika Serikat. Seorang Pria bernama Abraham Lincoln menantang debat dengan calon presiden lain yakni Stephen Douglas. Mereka bicara tentang isu “perbudakan” yang sensitif pada saat itu di depan ribuan orang. Acara ini bukan cuma debat biasa, tapi jadi berita besar. Koran-koran kirim wartawan untuk catat setiap kata di debat itu, lalu disebarkan lewat telegraf. Hasilnya semua orang di Amerika Serikat bicara soal Lincoln. Dia kalah di pemilu Senat itu, tapi perhatian besar ini bikin dia terkenal. Dua tahun kemudian, dia menang jadi presiden ke-16 Amerika Serikat. Intinya: setiap kesempatan harus dimanfaatkan untuk dapat perhatian, agar nama Anda melekat di ingatan orang. (NPS, 2017)                       Pada 26 September 1960, di studio TV Chicago yang terang benderang. Ini debat presiden pertama yang disiarkan langsung ke seluruh Amerika: Richard Nixon, wakil presiden yang berpengalaman tapi terlihat lelah dan berkeringat, melawan John F. Kennedy, senator muda yang tenang. Penonton di TV ada sekitar 70 juta orang yang lebih suka Kennedy yang kelihatan segar, meski yang dengar radio justru pilih Nixon. Debat ini jadi berita besar: koran dan TV bahas penampilan mereka berhari-hari, bikin Kennedy naik di survey dan akhirnya menang pemilu. Nixon belakangan bilang, "Itu malam terburuk saya di TV."                  Sekarang, di zaman kita, perhatian itu datang dari media sosial, bukan koran. Di pemilu Amerika Serikat 2016, Donald Trump pintar pakai Twitter. Dia tweet hal-hal kontroversial soal imigran atau lawannya, langsung jadi headline. Sementara Hillary Clinton lebih suka pidato formal. Akhirnya, Trump menang pemilu, meski banyak yang bilang strateginya kasar. Media sosial bikin satu tweet bisa dilihat jutaan orang dalam sekejap disebar lebih cepat. (Zompetti, 2019).               Menurut saya, pemilu dimenangkan dari cara kandidat menarik perhatian bahkan se-kontroversial apapun karena perhatian adalah cara mudah diingat orang. Rakyat suka sensasi, bukan omongan panjang. Jangan buang kesempatan untuk membuat orang ingat Anda, meski caranya kontroversial. Pelajaran sederhana dari sejarah yaitu di dalam politik, yang diam akan kalah. Kuasai media sosial, dan suara rakyat bisa jadi milik Anda. Pelajaran sederhana adalah Di politik, yang diam kalah. Jadilah sorotan di dalam semua kesempatan. Kuasai media sosial, dan suara rakyat bisa jadi milik Anda. Penulis : Rinaldo Farera   Sumber :  National Park Service. "The Lincoln-Douglas Debates of 1858." Last modified February 16, 2017. https://www.nps.gov/liho/learn/historyculture/debates.htm. Zompetti, Donna. "A Comparative Thematic Analysis of Clinton and Trump's Tweets during the 2016 Presidential Election." Contemporary Rhetoric 9, no. 1 (2019): 1–3. http://contemporaryrhetoric.com/wp-content/uploads/2019/02/Zompetti9_1_2_3.pdf.

PAW dan Peran KPU dalam Menjaga Demokrasi

Penulis : Radha Florida Dalam sistem demokrasi, Pergantian Antar Waktu (PAW) merupakan solusi ketika kursi wakil rakyat atau pejabat publik kosong di tengah masa jabatan. Idealnya, PAW menjaga kesinambungan pemerintahan agar roda kebijakan tetap berjalan tanpa hambatan. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini sering menimbulkan perdebatan apakah PAW benar-benar menjamin kepentingan rakyat atau justru menjadi celah kompromi politik? Di sinilah peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi sangat penting. PAW biasanya terjadi karena berbagai alasan: pengunduran diri, meninggal dunia, pelanggaran hukum, hingga partai politik yang menarik anggotanya. Secara prosedural, mekanisme ini terlihat rapi: partai pengusung mengusulkan pengganti, kemudian lembaga terkait mengesahkan. Tetapi pertanyaan penting muncul: apakah suara rakyat yang dulu memilih ikut terwakili oleh pengganti ini? Hubungan antara PAW dan KPU tidak bisa dilepaskan. Setiap kali terjadi kekosongan kursi di DPRD, partai politik memang berhak mengusulkan pengganti. Namun, pengganti itu tidak bisa serta-merta ditetapkan tanpa verifikasi dari KPU. KPU tidak menentukan siapa yang diganti atau siapa penggantinya secara politis, melainkan menjalankan fungsi administratif demi menjaga integritas proses dan legitimasi parlementari. Lembaga penyelenggara pemilu ini harus meneliti kembali daftar calon tetap (DCT) hasil pemilu terakhir dan perolehan suara sah legislatif di dapil tertentu, memastikan bahwa calon yang diajukan benar-benar berasal dari perolehan suara berikutnya, bukan sekadar hasil kompromi internal partai. Kasus PAW DPRD Kabupaten Sekadau tahun 2018 menjadi cerminan nyata dari pentingnya peran KPU. Saat itu, Hendri Suhendar dari Partai Gerindra mengundurkan diri karena mencalonkan diri melalui partai lain. KPU kemudian menetapkan Harianto sebagai pengganti berdasarkan hasil pemilu sebelumnya. Proses ini berjalan sesuai aturan, dan pelantikan dilakukan melalui sidang paripurna DPRD (https://senentangnews.com/read/15164/paw-dprd-sekadau-harianto-gantikan-suhendar.html).  Namun, di balik kelancaran prosedural, PAW merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemilu yang demokratis, dan harus dijalankan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip pemilu: keterwakilan, kepastian hukum, transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Dalam konteks ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memegang peran sentral sebagai penjaga konstitusi dan pelaksana integritas politik. Lebih jauh, KPU juga berperan dalam menjamin efisiensi dan efektivitas PAW. Dengan menjalankan prosedur secara tertib dan tepat waktu, kekosongan kursi legislatif tidak berlarut-larut, sehingga wakil rakyat tetap bisa bekerja memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, PAW sesungguhnya bukan hanya formalitas administratif, tetapi juga cermin dari bagaimana prinsip pelaksanaan pemilu diterapkan setelah hari pemungutan suara berlalu. Melalui pengawasan dan verifikasi yang profesional, KPU menjaga agar PAW tetap menjadi instrumen demokrasi yang sah, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Demokrasi di tangan Influencer atau Sipil?

           Tahun 2025 ruang politik menjadi sangat kompleks karena merambahnya pengguna sosial media. Sekarang semua orang bisa beropini secara bebas di sosial media lewat unggahan story, video singkat, live TikTok ataupun podcast YouTube. Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan bagaimana peran aktor politik terbaru yakni Influencer dalam mempengaruhi opini publik dan pilihan politik mereka.               Kampanye adalah serangkaian tindakan terorganisir yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu. Meskipun efektif, kampanye memiliki limitasi dalam durasi dan dana kampanye. Jika influencer dibayar untuk mempromosikan calon/partai, maka mereka harus masuk dalam laporan dana kampanye dan terdaftar sebagai bagian dari tim kampanye atau pendukung resmi dengan dasar hukum PKPU No. 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.                 Influencer adalah seseorang yang membangun kehadiran online melalui konten menarik seperti foto dan video dari kehidupannya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan interaksi langsung dengan audiens untuk membangun keaslian, keahlian, dan daya tarik melalui media sosial (Joshi, 2023).                     Masalahnya bukan pada kehadiran influencer karena memang mereka adalah bagian dari masyarakat digital. Masalahnya adalah minimnya transparansi dan etika saat mereka ikut bicara politik. Apakah konten itu murni opini pribadi, atau dibayar oleh tim kampanye? Tanpa regulasi dan kesadaran etik, politik bisa berubah jadi sekadar permainan popularitas dan citra belaka. Bukan tentang visi, misi, atau rekam jejak kandidat.               Banyak influencer mengklaim mereka hanya “membagikan opini pribadi” atau “tidak berpolitik.” Tapi dalam realitanya, setiap unggahan punya potensi mengarahkan opini publik, apalagi jika disampaikan oleh orang yang sudah dipercaya audiensnya dalam kehidupan sehari-hari.                  Komisi Pemilihan Umum sebenarnya sudah punya aturan soal kampanye di media sosial di UU No, 7 tahun 2017 pasal 274. Tapi sejauh ini, pengawasan terhadap influencer politik masih lemah. Banyak kampanye terselubung yang lolos karena tidak dilakukan oleh akun resmi tim sukses.            Influencer boleh saja ikut bersuara. Tapi tanggung jawabnya besar, karena saat seseorang punya pengaruh publik, maka suaranya bukan lagi sekadar opini ia bisa mengubah arah pilihan jutaan orang. Itulah peran sipil dalam literasi politik agar tidak mudah dipengaruhi oleh influencer dan fokus akan rekam jejak dan visi misi kandidat politik khususnya di sosial media. Sumber :  Joshi, Yatish; Lim, Weng Marc; Jagani, Khyati; Kumar, Satish (June 25, 2023). "Social media influencer marketing: foundations, trends, and ways forward"  

Peran Media Sosial dalam Dinamika Berita Politik

Dulu, berita politik hanya bisa kita temukan di koran pagi, siaran televisi, atau radio. Prosesnya lambat, disaring oleh redaksi, dilakukan proses editorial ketat, dan dikemas dengan bahasa formal. Kini, semua berubah. Media sosial menjadi panggung utama di mana berita politik bukan hanya dikonsumsi, tetapi juga diproduksi oleh siapa saja. Dengan satu unggahan, informasi politik bisa menjangkau jutaan orang dalam hitungan detik, tanpa melewati gerbang redaksi. Tidak bisa dipungkiri bahwa medsos memberi suara bagi mereka yang sebelumnya tak terdengar. Aktivis, warga biasa, bahkan kelompok marginal kini punya panggung untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Dengan kemudahan akses dan kecepatan informasi yang ditawarkannya, media sosial menjadi platform utama bagi masyarakat untuk mendapatkan berita politik secara real-time. Namun, peran ini memiliki dua sisi yang saling bertentangan. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang yang luas bagi berbagai suara dan sudut pandang politik. Informasi yang sebelumnya mungkin sulit dijangkau oleh masyarakat umum kini bisa tersebar dengan cepat, mendorong partisipasi publik dalam diskusi dan debat politik. Hal ini memungkinkan masyarakat menjadi lebih kritis dan aktif dalam mengawal jalannya proses demokrasi. Misalnya ketika pemerintah mengusulkan perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung ke tidak langsung melalui DPR, masyarakat secara masif menggunakan komentar, tagar, dan unggahan untuk menyuarakan hak politiknya, sehingga perdebatan yang dulu terbatas di jalanan kini bergeser menjadi partisipasi publik digital yang lebih luas, beretika, dan terdidik. Namun di sisi lain, media sosial juga rawan menjadi ajang penyebaran berita palsu atau hoaks yang dapat membingungkan publik dan memicu konflik sosial. Algoritma yang mengedepankan konten viral sering kali memperkuat bias informasi yang membuat masyarakat cenderung terjebak di dalam “gelembung informasi” yang memperkuat pandangan mereka tanpa memberikan ruang untuk perspektif lain. Contohnya saat menjelang Pemilu 2019, beredar luas di media sosial sebuah hoaks yang menyebutkan bahwa ada tujuh kontainer berisi surat suara tercoblos untuk pasangan calon tertentu yang ditemukan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Hoaks ini viral dalam waktu singkat dan menimbulkan keresahan politik karena dianggap mengindikasikan kecurangan pemilu yang terstruktur. KPU bersama Polri langsung membantah kabar tersebut setelah melakukan pengecekan ke Tanjung Priok. Kasus ini dicatat oleh Kementerian Kominfo dan Bawaslu sebagai salah satu hoaks politik terbesar yang menyerang kredibilitas penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, peran media sosial terhadap berita politik harus diimbangi dengan literasi digital yang baik. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk memverifikasi informasi dan memahami konteks berita sebelum membagikannya. Dengan demikian, media sosial dapat menjadi alat yang efektif dalam mendukung demokrasi dan memperkaya wawasan politik masyarakat, bukan menjadi sumber perpecahan dan disinformasi. Secara keseluruhan, media sosial adalah pedang bermata dua yang harus digunakan dengan bijak agar mampu membawa manfaat positif bagi perkembangan berita politik dan kualitas demokrasi di Indonesia. Tantangannya sekarang adalah bagaimana menjadikan media sosial bukan sekadar alat propaganda, tapi sarana literasi politik yang sehat. Sebab, di era ini, siapa yang menguasai medsos, dialah yang menguasai narasi. Penulis : Radha Florida

Modal Politik dalam Dinamika Kekuasaan

               Apakah kamu berencana mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (nyaleg) atau kepala daerah? Untuk sukses dalam dunia politik, terutama dalam pemilihan umum (Pemilu), kamu perlu memiliki modal politik. Modal politik adalah sumber daya yang membantu kamu memenangkan dukungan masyarakat dan meraih kemenangan. Menurut Pierre Bourdieu, setidaknya ada empat jenis modal politik yang penting untuk dimiliki yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik (Mas’oed & Savirani, 2011).              Pertama, mari bicara soal uang. Politik itu berbiaya besar, dan tanpa modal ekonomi, sulit untuk bersaing. Modal ekonomi mencakup dana atau harta kekayaan yang aktor politik gunakan untuk mendukung kegiatan kampanye. Bayangkan biaya untuk membuat spanduk besar, iklan di media sosial, menggelar acara kampanye seperti konser atau pertemuan warga, hingga menyewa tim konsultan politik. Semua itu butuh dana yang tidak sedikit. Sebagai contoh, Barack Obama dalam kampanye presiden 2008 menunjukkan kekuatan modal ekonomi. Ia berhasil mengumpulkan ratusan juta dolar, banyak di antaranya berasal dari donasi kecil melalui internet. Dana ini memungkinkan Obama untuk membeli iklan televisi dalam jumlah besar dan membangun organisasi akar rumput yang kuat di negara-negara bagian penting (Mendell & Wallenfeldt, 2025). Sehingga Modal ini ibarat bahan bakar yang menggerakkan mesin kampanye kamu.            Selanjutnya, ada modal sosial, yaitu jaringan hubungan yang kamu miliki. Bayangkan ini sebagai lingkaran pertemanan, keluarga, atau komunitas yang bisa mendukungmu. Semakin luas jaringanmu, semakin mudah kamu dikenal dan dipercaya masyarakat. Modal sosial bisa berasal dari keterlibatanmu dalam organisasi kemasyarakatan, seperti perkumpulan pemuda, kelompok keagamaan. Obama adalah contoh nyata penggunaan modal sosial yang cerdas. Ia membangun jaringan luas melalui Obama for America (OFA), sebuah organisasi akar rumput yang menggerakkan ribuan relawan. Kampanyenya memanfaatkan media sosial seperti Twitter dan YouTube untuk menciptakan rasa keterlibatan di kalangan pendukung. (Nelson, 2025)                    Lalu, ada modal budaya, yang berkaitan dengan pendidikan, pengetahuan, atau keterampilan yang kamu miliki. Obama memanfaatkan modal budaya dengan luar biasa. Sebagai lulusan Harvard Law School dan mantan dosen hukum, ia menonjolkan kecerdasannya melalui pidato-pidato yang terstruktur dan penuh makna. Kemampuan oratorinya yang luar biasa, seperti dalam pidato kunci di Konvensi Nasional Demokrat 2004, membuatnya dikenal luas. Modal budaya membantu meyakinkan pemilih bahwa kamu bukan hanya punya niat, tetapi juga kapasitas untuk menangani tugas-tugas politik yang kompleks. (Reid, 2025)                 Terakhir, ada modal simbolik, yaitu reputasi, nama baik, atau simbol tertentu yang membuatmu dihormati masyarakat. Ini bisa berupa gelar keagamaan seperti sultan, ustadz, kyai, atau pendeta, atau bahkan keturunan dari tokoh terkenal, seperti bangsawan atau pahlawan lokal. Obama memanfaatkan modal simbolik mewakili ras kulit hitam dengan menjadi simbol harapan dan perubahan. Sebagai calon presiden Afrika-Amerika pertama, ia mewakili sejarah baru bagi Amerika Serikat. Slogan “Yes We Can” dan tema “Hope” dalam kampanyenya menciptakan citra positif yang kuat. Modal simbolik bekerja karena manusia sering kali memilih berdasarkan persepsi dan emosi.           Tanpa modal sosial dan simbolik, kepercayaan masyarakat sulit didapat, sebagaimana ditegaskan bahwa “political financing is not only about money but also about social networks and symbolic legitimacy” (Mas’oed & Savirani, 2011).            Sukses dalam nyaleg atau nyalon kepala daerah bukan cuma soal keberuntungan, tetapi juga kesiapan modal politik yang kamu miliki. Seperti yang ditunjukkan Barack Obama, modal ekonomi memberi kamu daya dorong, modal sosial memperluas jangkauan, modal budaya menunjukkan kemampuan, dan modal simbolik membangun citra yang melekat di hati pemilih. Dengan mempersiapkan keempat modal ini dengan baik, kamu punya peluang lebih besar untuk memenangkan Pemilu dan mewujudkan visi politikmu. Jadi, sebelum terjun ke kancah politik, tanyakan pada diri sendiri: sudahkah kamu punya modal yang cukup? Penulis : Rinaldo Farera    Mas’oed, M., & Savirani, A. (2011). Financing politics in Indonesia. PCD Journal, 3(1-2), 63-93. Mendell, D., & Wallenfeldt, J. (2025). Barack Obama - 44th president, political career, legacy. Encyclopaedia Britannica. Nelson, M. (n.d.). Barack Obama: Campaigns and elections. Miller Center. Reid, R. (n.d.). The charisma of Barack Obama: Communication & public engagement. richard-reid.com

Publikasi