Opini

154

Penyelenggaraan Pemilu di Negara Multikultural

Oleh : Lidia Wenny Penyelenggaraan pemilu di negara multikultural selalu menghadirkan tantangan tersendiri. Keberagaman etnis, bahasa, agama, dan identitas politik membuat proses elektoral bukan sekadar perhitungan suara, tetapi juga proses membangun rasa kebersamaan di tengah perbedaan. Peneliti pemilihan umum menegaskan bahwa legitimasi demokratis jauh lebih kuat ketika seluruh kelompok merasa terwakili dan memiliki akses setara untuk berpartisipasi (Lijphart, 1977). Karena itu, negara multikultural biasanya menekankan inklusivitas, aksesibilitas, dan mekanisme yang mampu menjembatani keragaman tersebut. Dalam banyak kasus, negara harus memastikan bahwa proses pemilu menjangkau seluruh wilayah dan komunitas, termasuk mereka yang tinggal di area terpencil atau memiliki karakteristik sosial yang berbeda. India sering dijadikan contoh klasik. Meskipun sudah menggunakan Electronic Voting Machine (EVM), penyelenggara pemilu India tetap menghadapi tantangan besar berupa distribusi perangkat pemungutan suara ke wilayah-wilayah yang sulit diakses, dari desa di pegunungan, komunitas kecil di pedalaman, hingga pulau terpencil. Tantangan ini menunjukkan bahwa teknologi memang membantu efisiensi, tetapi akses fisik untuk memastikan setiap warga dapat memberikan suara tetap menjadi pekerjaan besar di negara dengan keragaman geografis sekaligus multikulturalisme yang kuat. Selain itu, pemilu di negara multikultural menuntut pengelolaan narasi publik agar tidak terjebak pada politik identitas yang sempit. Horowitz (1985) menekankan bahwa kompetisi elektoral dalam masyarakat majemuk rentan memicu polarisasi jika tidak diimbangi dengan mekanisme representasi yang adil. Karena itu, beberapa negara menerapkan kebijakan afirmatif, pembagian daerah pemilihan khusus, atau model representasi proporsional untuk memastikan kelompok minoritas tetap memiliki ruang politik. Dalam konteks ini, penyelenggara pemilu bukan hanya administrator prosedural, tetapi juga aktor penting dalam menjaga stabilitas sosial. Akhirnya, kekuatan penyelenggaraan pemilu di negara multikultural terletak pada kemampuan sistem untuk mengakui keragaman tanpa membelah masyarakat. Pemilu yang inklusif, dapat diakses, dan dirancang untuk merangkul keberagaman menjadi fondasi penting bagi konsolidasi demokrasi. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa ketika semua kelompok merasa dihitung dan dihargai, hasil pemilu tidak hanya mencerminkan preferensi politik, tetapi juga memperkuat kepercayaan sosial yang menjadi inti dari demokrasi itu sendiri.


Selengkapnya
67

Pahlawan Tak Selalu Bertoga atau Berseragam

Di tengah arus informasi yang deras dan tantangan sosial yang kompleks, definisi pahlawan tak lagi terbatas pada mereka yang berjuang di medan perang atau berdiri di podium kehormatan. Pahlawan masa kini hadir dalam berbagai wajah dan peran, sering kali tanpa sorotan kamera atau tepuk tangan publik. Mereka adalah para guru honorer di pelosok negeri yang tetap mengajar meski gaji tak sepadan. Mereka adalah tenaga kesehatan di desa terpencil yang rela berjalan kaki berjam-jam demi menjangkau pasien. Mereka adalah anak muda yang membangun gerakan literasi digital untuk melawan hoaks dan ujaran kebencian. Mereka adalah ibu rumah tangga yang menjadi motor komunitas, menggerakkan ekonomi lokal dengan usaha kecil yang memberdayakan perempuan sekitar. Kepahlawanan hari ini bukan soal seragam, pangkat, atau gelar. Ia adalah tentang keberanian untuk peduli, konsistensi dalam berbuat baik, dan keteguhan dalam menghadapi ketidakadilan. Di era digital, pahlawan bisa jadi seorang konten kreator yang menyuarakan isu-isu sosial dengan cara yang kreatif dan edukatif. Jurnalis independen yang tetap menulis fakta meski tekanan datang dari berbagai arah. Ia bisa jadi relawan yang mendampingi korban kekerasan, atau mahasiswa yang menginisiasi gerakan lingkungan di kampusnya. Mereka mungkin tak tercatat dalam buku sejarah, tapi jejak mereka nyata dalam kehidupan masyarakat. Mereka menginspirasi, menggerakkan, dan memberi harapan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap institusi, pahlawan-pahlawan ini menjadi bukti bahwa kebaikan masih hidup, dan perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil. Pahlawan masa kini adalah jika kita memilih untuk tidak diam, jika kita berani bertindak, dan jika kita percaya bahwa setiap langkah kecil menuju kebaikan adalah bentuk keberanian yang layak dihargai. Penulis : Radha Florida


Selengkapnya
170

Tantangan Calon Independen dalam Pemilu

Calon independen adalah perwujudan paling murni dari demokrasi. Dalam sistem yang ideal, kekuasaan politik seharusnya kembali kepada individu yakni kepada warga negara yang memiliki gagasan, integritas, dan tekad untuk mengabdi, bukan kepada simbol partai atau kepentingan oligarki. Contohnya, di Athena, ibu kota Yunani abad ke-5 SM, demokrasi lahir tanpa partai politik. Di bukit Pnyx, warga bebas berdiri dan berbicara. Keputusan lahir dari debat terbuka, bukan dari perintah elit atau kesepakatan dapur politik. Pemimpin seperti Perikles dan Kleon bukanlah hasil kompromi partai, tetapi hasil dari karisma dan keyakinan pribadi. Itulah semangat sejati calon independen. (Sacha et al, 2018) Namun di era modern, calon independen berjalan di jalan terjal. Demokrasi telah diselimuti struktur birokratis dan jaringan partai yang begitu kuat. Untuk sekadar mencalonkan diri, mereka harus menghadapi rintangan administratif yang tinggi seperti verifikasi dukungan rakyat dalam jumlah besar, biaya politik yang tak sedikit, dan minimnya akses ke logistik serta media. Dalam kontestasi yang modal finansial yang besar dan strategi komunikasi, idealisme sering tenggelam di balik baliho raksasa partai. (Yogi, 2024) Lebih dari sekedar urusan teknis, tantangan terbesar calon independen adalah persepsi publik. Banyak yang masih memandang bahwa kekuasaan hanya bisa diraih melalui partai. Seolah-olah seseorang yang berdiri sendiri tak punya cukup kekuatan untuk memimpin. Padahal justru di sanalah letak keistimewaan calon independen dibanding dari partai politik karena ia bebas dari kompromi politik, tidak terikat oleh kepentingan kelompok, dan hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Ross Perot, misalnya, pengusaha kaya yang maju sebagai calon presiden independen Amerika Serikat pada 1992, berhasil mengguncang tatanan politik dua partai. Dengan isu efisiensi ekonomi dan antipolitik konvensional, Perot meraih hampir 19% suara populer sebagai prestasi luar biasa tanpa dukungan partai. Namun, sistem elektoral AS yang berbasis “pemenang mengambil semua”  (winner-take-all system) membuatnya tidak mendapatkan satu pun suara. Calon independen adalah pengingat bahwa demokrasi tidak boleh didominasi oleh partai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap politik transaksional dan keberanian untuk maju mandiri. Maka, untuk menghargai kedaulatan rakyat, seharusnya jalan bagi calon independen sehrusnya tidak dipersulit, melainkan dipermudah karena dari merekalah, suara rakyat murni bisa datang. Sumber : Kapoor, Sacha & Magesan, Arvind. 2018. “Independent Candidates and Political Representation in India.” American Political Science Review, Vol. 112, No. 3, hlm. 678-697. DOI: 10.1017/S0003055418000199. Prasetyo, Yogi. 2024. “Besarnya Syarat Dukungan Calon Independen dalam Pilkada: Auto Kritik Hukum terhadap Demokrasi Indonesia.” Jurnal Konstitusi, Vol. 21, No. 2. DOI: 10.31078/jk2124.    


Selengkapnya
615

Mengapa Kita Memilih Kadidat Yang Tidak Kita Percaya

Oleh: Lidia Wenny Fenomena masyarakat yang memilih kandidat yang sebenarnya mereka ragukan bukanlah hal baru dalam pemilu. Banyak orang mengira hal ini terjadi karena kurangnya pendidikan politik atau rendahnya literasi informasi. Namun, penelitian dalam bidang psikologi politik menunjukkan bahwa keputusan memilih tidak hanya ditentukan oleh akal sehat atau data, melainkan juga oleh identitas sosial dan relasi kekuasaan di lingkungan terdekat (Aspinall & Berenschot, 2019). Dalam konteks banyak komunitas di Indonesia, pilihan politik seseorang sering kali tidak berdiri sendiri. Pilihan itu terikat pada keluarga, tokoh lokal, jaringan pekerjaan, atau figur yang dianggap berjasa. Di beberapa desa, misalnya, tokoh masyarakat atau tokoh agama dapat memberikan arahan dukungan, dan anggota komunitas mengikuti bukan karena diperintah, tetapi karena loyalitas dan rasa menghormati hierarki sosial. Ini menunjukkan bahwa memilih adalah tindakan sosial, bukan hanya tindakan politik. Pemilih mungkin mengetahui rekam jejak kandidat yang bermasalah, korupsi, kinerja buruk, atau ketidakpekaan sosial. Namun, memilih berbeda dapat menimbulkan risiko, dikucilkan keluarga, hubungan kerja terganggu, atau dianggap tidak kooperatif dalam lingkungan sosial. Dalam situasi seperti ini, stabilitas hubungan sosial dianggap lebih penting daripada integritas politik. Teori psikologi sosial menyebutnya normative social influence, kecenderungan mengikuti pilihan kelompok demi diterima dan menghindari konflik (Cialdini, 2003). Di sisi lain, ada pula faktor ketergantungan ekonomi. Di beberapa wilayah, akses bantuan, pekerjaan proyek, atau kedekatan dengan pejabat lokal masih menjadi sumber keamanan ekonomi. Dari sini, pilihan politik menjadi bentuk transaksi perlindungan, sebuah cara untuk mempertahankan rasa aman di kehidupan sehari-hari. Maka, pemilu bagi sebagian masyarakat bukan hanya arena ide, tetapi arena bertahan hidup. Situasi ini menciptakan paradoks, secara hukum suara adalah hak pribadi. Namun dalam praktik sosial, suara sering menjadi tanggung jawab kelompok. Di sinilah tantangan penyelenggaraan pemilu berada. KPU dapat terus meningkatkan kualitas sosialisasi, Bawaslu dapat memperketat pengawasan, dan DKPP dapat menjaga etika penyelenggara. Tetapi selama dimensi sosial dan budaya tidak disentuh, orientasi memilih tetap bertumpu pada loyalitas, bukan kemampuan kandidat. Karena itu, pendidikan pemilih seharusnya tidak berhenti pada informasi tentang cara mencoblos atau konsekuensi politik uang. Ia perlu menyentuh kemampuan warga untuk berpikir mandiri dalam ruang yang aman. Bukan mengajak mereka melawan komunitasnya, tetapi memberi ruang refleksi bahwa peduli pada hubungan sosial tidak harus berarti menyerahkan suara hati sepenuhnya. Pemilu yang baik bukan hanya yang berjalan tertib, tetapi yang memberikan kesempatan bagi setiap orang untuk menggunakan suaranya sebagai ekspresi kesadaran, bukan sekadar penyesuaian terhadap tekanan lingkungan.


Selengkapnya
199

Pemilu Inklusif : Apakah Sistem Kita Ramah bagi Difabel dan Marginal?

Penulis : Radha Florida Pemilu inklusif merupakan fondasi utama bagi demokrasi yang adil dan merata, namun kenyataannya belum sepenuhnya terwujud dalam praktik di Indonesia, terutama bagi difabel dan kelompok marginal. Meskipun KPU telah melakukan berbagai upaya seperti mengusahakan pemilih difabel ditempatkan di TPS yang aksesibel dan membatasi jumlah pemilih per TPS agar bisa memberikan pelayanan yang lebih optimal, masih ada kendala signifikan seperti masih luputnya pendaftaran pemilih disabilitas akibat ketidaktahuan keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sistem kita memang mulai bergerak menuju inklusivitas, tetapi langkah tersebut belum cukup untuk menghapuskan hambatan struktural yang dihadapi difabel dalam menggunakan hak pilihnya. Bahkan dalam forum nasional Temu Inklusi 2025, para pemangku kebijakan menegaskan pentingnya pembangunan infrastruktur aksesibilitas yang memadai dan pengintegrasian perspektif disabilitas dalam kebijakan pemilu. https://inklusi.or.id/id/berita-cerita/berita/temu-inklusi-2025-difabel/ Secara regulatif, Indonesia memiliki komitmen kuat terhadap inklusivitas. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan hak setiap warga untuk memilih dan dipilih tanpa diskriminasi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun telah menunjukkan langkah konkret. Data KPU RI mencatat bahwa pada Pemilu 2024 terdapat 1,1 juta pemilih penyandang disabilitas yang terdaftar mulai dari disabilitas fisik, sensorik, intelektual, hingga mental. Beberapa daerah bahkan melakukan inovasi seperti KPU Kabupaten Demak misalnya, menyiapkan TPS yang ramah kursi roda dan menyediakan pendamping bagi 4.354 pemilih difabel. Langkah-langkah ini tentu menjadi kemajuan penting. Ia menegaskan bahwa negara mulai hadir untuk menjamin hak politik kelompok rentan. Namun, jika kita menelusuri lebih dalam, kenyataan di lapangan masih jauh dari kata ideal. Laporan Perdik (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) menemukan bahwa 45 persen TPS yang dipantau tidak memiliki data pemilih difabel. Akibatnya, layanan aksesibilitas seperti jalur landai, panduan visual, maupun pendampingan bagi pemilih tunanetra dan tunarungu sering kali tidak tersedia. Bahkan, survei Kompas mencatat bahwa 54 persen difabel tuna daksa mengalami kesulitan saat mencoblos karena keterbatasan akses fisik di TPS. Lebih lanjut, 84 persen TPS tidak menyediakan juru bahasa isyarat, dan 69 persen tidak memberikan informasi tata cara memilih dalam bahasa isyarat. Sementara bagi marginal seperti mereka yang tinggal di daerah terpencil, bekerja di sektor informal, atau tidak memiliki dokumen kependudukan lengkap hambatan lain muncul. Banyak dari mereka tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) karena mobilitas tinggi atau ketidaklengkapan administrasi. Akibatnya, hak pilih yang seharusnya dijamin konstitusi justru tidak dapat digunakan. Namun, harapan tidak hilang. KPU, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas difabel kini semakin aktif bekerja sama untuk mendorong perubahan. Sosialisasi berbasis komunitas, pelatihan petugas tentang pelayanan inklusif, serta keterlibatan relawan muda dalam edukasi politik menunjukkan arah positif. Narasi ini menunjukkan bahwa inklusivitas dalam pemilu bukan sekadar jargon. Ia harus diwujudkan dalam bentuk nyata seperti akses fisik yang memadai, informasi yang bisa diakses semua kalangan, pendidikan pemilih yang kontekstual, dan representasi politik yang mencerminkan keberagaman masyarakat. Tanpa itu, demokrasi kita belum sepenuhnya utuh. Demokrasi yang matang bukan diukur dari jumlah pemilih, melainkan dari seberapa jauh setiap individu termasuk difabel dan marginal merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan.


Selengkapnya
88

Perhatian akan memenangkan pemilu

             Pada tahun 1958 di kota kecil Illnois, Amerika Serikat. Seorang Pria bernama Abraham Lincoln menantang debat dengan calon presiden lain yakni Stephen Douglas. Mereka bicara tentang isu “perbudakan” yang sensitif pada saat itu di depan ribuan orang. Acara ini bukan cuma debat biasa, tapi jadi berita besar. Koran-koran kirim wartawan untuk catat setiap kata di debat itu, lalu disebarkan lewat telegraf. Hasilnya semua orang di Amerika Serikat bicara soal Lincoln. Dia kalah di pemilu Senat itu, tapi perhatian besar ini bikin dia terkenal. Dua tahun kemudian, dia menang jadi presiden ke-16 Amerika Serikat. Intinya: setiap kesempatan harus dimanfaatkan untuk dapat perhatian, agar nama Anda melekat di ingatan orang. (NPS, 2017)                       Pada 26 September 1960, di studio TV Chicago yang terang benderang. Ini debat presiden pertama yang disiarkan langsung ke seluruh Amerika: Richard Nixon, wakil presiden yang berpengalaman tapi terlihat lelah dan berkeringat, melawan John F. Kennedy, senator muda yang tenang. Penonton di TV ada sekitar 70 juta orang yang lebih suka Kennedy yang kelihatan segar, meski yang dengar radio justru pilih Nixon. Debat ini jadi berita besar: koran dan TV bahas penampilan mereka berhari-hari, bikin Kennedy naik di survey dan akhirnya menang pemilu. Nixon belakangan bilang, "Itu malam terburuk saya di TV."                  Sekarang, di zaman kita, perhatian itu datang dari media sosial, bukan koran. Di pemilu Amerika Serikat 2016, Donald Trump pintar pakai Twitter. Dia tweet hal-hal kontroversial soal imigran atau lawannya, langsung jadi headline. Sementara Hillary Clinton lebih suka pidato formal. Akhirnya, Trump menang pemilu, meski banyak yang bilang strateginya kasar. Media sosial bikin satu tweet bisa dilihat jutaan orang dalam sekejap disebar lebih cepat. (Zompetti, 2019).               Menurut saya, pemilu dimenangkan dari cara kandidat menarik perhatian bahkan se-kontroversial apapun karena perhatian adalah cara mudah diingat orang. Rakyat suka sensasi, bukan omongan panjang. Jangan buang kesempatan untuk membuat orang ingat Anda, meski caranya kontroversial. Pelajaran sederhana dari sejarah yaitu di dalam politik, yang diam akan kalah. Kuasai media sosial, dan suara rakyat bisa jadi milik Anda. Pelajaran sederhana adalah Di politik, yang diam kalah. Jadilah sorotan di dalam semua kesempatan. Kuasai media sosial, dan suara rakyat bisa jadi milik Anda. Penulis : Rinaldo Farera   Sumber :  National Park Service. "The Lincoln-Douglas Debates of 1858." Last modified February 16, 2017. https://www.nps.gov/liho/learn/historyculture/debates.htm. Zompetti, Donna. "A Comparative Thematic Analysis of Clinton and Trump's Tweets during the 2016 Presidential Election." Contemporary Rhetoric 9, no. 1 (2019): 1–3. http://contemporaryrhetoric.com/wp-content/uploads/2019/02/Zompetti9_1_2_3.pdf.


Selengkapnya