Tantangan Calon Independen dalam Pemilu

Calon independen adalah perwujudan paling murni dari demokrasi. Dalam sistem yang ideal, kekuasaan politik seharusnya kembali kepada individu yakni kepada warga negara yang memiliki gagasan, integritas, dan tekad untuk mengabdi, bukan kepada simbol partai atau kepentingan oligarki. Contohnya, di Athena, ibu kota Yunani abad ke-5 SM, demokrasi lahir tanpa partai politik. Di bukit Pnyx, warga bebas berdiri dan berbicara. Keputusan lahir dari debat terbuka, bukan dari perintah elit atau kesepakatan dapur politik. Pemimpin seperti Perikles dan Kleon bukanlah hasil kompromi partai, tetapi hasil dari karisma dan keyakinan pribadi. Itulah semangat sejati calon independen. (Sacha et al, 2018)

Namun di era modern, calon independen berjalan di jalan terjal. Demokrasi telah diselimuti struktur birokratis dan jaringan partai yang begitu kuat. Untuk sekadar mencalonkan diri, mereka harus menghadapi rintangan administratif yang tinggi seperti verifikasi dukungan rakyat dalam jumlah besar, biaya politik yang tak sedikit, dan minimnya akses ke logistik serta media. Dalam kontestasi yang modal finansial yang besar dan strategi komunikasi, idealisme sering tenggelam di balik baliho raksasa partai. (Yogi, 2024)

Lebih dari sekedar urusan teknis, tantangan terbesar calon independen adalah persepsi publik. Banyak yang masih memandang bahwa kekuasaan hanya bisa diraih melalui partai. Seolah-olah seseorang yang berdiri sendiri tak punya cukup kekuatan untuk memimpin. Padahal justru di sanalah letak keistimewaan calon independen dibanding dari partai politik karena ia bebas dari kompromi politik, tidak terikat oleh kepentingan kelompok, dan hanya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya.

Ross Perot, misalnya, pengusaha kaya yang maju sebagai calon presiden independen Amerika Serikat pada 1992, berhasil mengguncang tatanan politik dua partai. Dengan isu efisiensi ekonomi dan antipolitik konvensional, Perot meraih hampir 19% suara populer sebagai prestasi luar biasa tanpa dukungan partai. Namun, sistem elektoral AS yang berbasis “pemenang mengambil semua”  (winner-take-all system) membuatnya tidak mendapatkan satu pun suara.

Calon independen adalah pengingat bahwa demokrasi tidak boleh didominasi oleh partai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap politik transaksional dan keberanian untuk maju mandiri. Maka, untuk menghargai kedaulatan rakyat, seharusnya jalan bagi calon independen sehrusnya tidak dipersulit, melainkan dipermudah karena dari merekalah, suara rakyat murni bisa datang.



Sumber :

Kapoor, Sacha & Magesan, Arvind. 2018. “Independent Candidates and Political Representation in India.” American Political Science Review, Vol. 112, No. 3, hlm. 678-697. DOI: 10.1017/S0003055418000199.

Prasetyo, Yogi. 2024. “Besarnya Syarat Dukungan Calon Independen dalam Pilkada: Auto Kritik Hukum terhadap Demokrasi Indonesia.” Jurnal Konstitusi, Vol. 21, No. 2. DOI: 10.31078/jk2124.

 

 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 169 Kali.