Pemilu: Antara Perekat dan Pemecah Bangsa
Oleh: Muhadis Eko Suryanto, SIP.
Pemilihan Umum (Pemilu) dalam sistem demokrasi modern merupakan pilar utama yang menjamin keterlibatan rakyat dalam menentukan arah pembangunan bangsa. Melalui pemilu, rakyat diberi ruang untuk menggunakan hak konstitusionalnya guna memilih wakil dan pemimpin yang akan menjalankan pemerintahan. Namun demikian, dalam praktiknya, pemilu tidak hanya memiliki fungsi integratif, tetapi juga menyimpan potensi disintegrasi sosial-politik.
Dalam pandangan klasik Giovanni Sartori (1997) dalam Comparative Constitutional Engineering, pemilu merupakan sarana untuk menyerap konflik secara damai melalui kompetisi politik yang diatur oleh hukum. Artinya, pemilu sejatinya adalah alat demokratisasi dan rekonsiliasi, yang memberi kesempatan kepada semua golongan untuk menyuarakan aspirasi secara setara. Ketika dijalankan secara jujur, adil, dan transparan, pemilu berperan sebagai perekat masyarakat yang majemuk.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu juga dapat menjadi pintu masuk bagi polarisasi dan konflik sosial, terutama apabila kepentingan politik dibungkus dengan identitas primordial seperti suku, agama, dan ras. Konflik kepentingan yang dikapitalisasi dalam bentuk politik identitas kerap memperuncing perbedaan dan menyulut perpecahan antar kelompok. Dalam hal ini, Chantal Mouffe (2000) dalam The Democratic Paradox mengingatkan bahwa demokrasi bukan hanya tentang konsensus, tetapi juga bagaimana mengelola agonisme (pertarungan gagasan) agar tidak berubah menjadi antagonisme (permusuhan antar identitas).
Realitas politik Indonesia dalam beberapa dekade terakhir membuktikan hal tersebut. Polarisasi dalam pemilu sering kali menyisakan luka sosial yang berkepanjangan. Media sosial memperkuat disinformasi, mempercepat penyebaran ujaran kebencian, dan memperdalam sekat antar kelompok. Ketika kompetisi politik tidak lagi dilihat sebagai persaingan ide dan program, melainkan sebagai perang eksistensial antar identitas, maka yang lahir bukan demokrasi yang sehat, melainkan keterbelahan sosial yang berbahaya.
Oleh karena itu, menjaga penyelenggaraan pemilu agar berjalan sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL), serta taat pada peraturan perundang-undangan, menjadi kunci utama dalam merawat demokrasi. Dalam konteks ini, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi sangat vital sebagai pengawas independen yang mampu mencegah pelanggaran dan meredam potensi konflik. Begitu pula dengan pengamat pemilu dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi, yang dapat menjadi penyeimbang dengan memberikan kritik konstruktif dan edukasi publik. Pengawasan yang aktif dan partisipatif dalam seluruh proses pemilu bukan hanya alat kontrol, tetapi juga fondasi penting dalam membangun kesadaran politik yang sehat dan demokrasi yang inklusif.