Eks Narapidana Caleg - Dilema Kepercayaan Publik dan Hak Politik Narapidana

Fenomena narapidana yang kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di Indonesia menjelang Pemilu 2024 membuka ruang diskusi serius tentang integritas dan kualitas demokrasi di negeri ini. Di satu sisi, keberadaan puluhan eks narapidana, terutama yang terlibat kasus korupsi, dalam daftar bakal calon legislatif menimbulkan kekhawatiran mendalam akan masa depan parlemen yang seharusnya menjadi representasi rakyat sekaligus pengawal kepentingan publik.

Bayangkan seorang mantan pejabat yang pernah menggelapkan dana publik, berdiri di panggung kampanye, menjanjikan perubahan dan integritas. Ia tersenyum, berbicara lantang tentang keadilan, seolah masa lalunya hanyalah bayang-bayang yang tak layak diungkit. Di belakangnya, baliho besar bertuliskan “Bersih, Jujur, Peduli” ironis, tapi nyata.

Setidaknya 67 eks narapidana tercatat sebagai bakal calon legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2024. Mereka terdiri dari 52 calon DPR RI dan 15 calon DPD RI, berasal dari hampir semua partai politik peserta pemilu, kecuali Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). (https://katadata.co.id/berita/nasional/650a5b467f3c8/67-eks-terpidana-berambisi-jadi-caleg-2024-ini-daftar-lengkapnya.)

Mahkamah Konstitusi menegaskan, secara hukum para eks narapidana diperbolehkan maju dengan catatan mereka memenuhi syarat tertentu: transparan soal rekam jejak, menunggu lima tahun setelah bebas, dan bukan pelaku kejahatan berulang. Secara hukum, mereka sah. Tapi secara moral, apakah kita siap menerima mereka sebagai wakil suara rakyat?

Keberadaan tokoh-tokoh yang memiliki rekam jejak pidana serius dalam dunia politik bukan hanya menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, tetapi juga mengancam kualitas pengambilan kebijakan di tingkat legislatif. Publik tentu menginginkan wakil rakyat yang bersih, berintegritas, dan mampu menjadi teladan, bukan justru melanjutkan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menghancurkan kepercayaan sosial.

Tentu tidak semua eks narapidana harus dikucilkan dari ruang publik. Argumentasi bahwa eks narapidana sudah menjalani hukuman dan berhak mendapatkan kesempatan kedua juga perlu ditempatkan dalam proporsi yang adil. Prinsip reintegrasi sosial memang penting, tapi dengan catatan bahwa yang bersangkutan harus membuktikan komitmen nyata terhadap perubahan dan rekonsiliasi dengan masyarakat.

Kita tidak sedang menolak hak politik seseorang. Kita sedang mempertanyakan standar integritas yang seharusnya menjadi fondasi parlemen. Karena wakil rakyat bukan sekadar jabatan, tapi cerminan nilai-nilai yang kita perjuangkan sebagai bangsa.

Bandingkan dengan Swedia, negara yang dikenal memiliki tingkat partisipasi pemilih tinggi yang tidak pernah kurang dari 80 persen sejak tahun 1950an. Misalnya, pada pemilu tahun 2022 jumlah partisipasi pemilih mencapai 84,21 persen dari pemilih yang memenuhi syarat. Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya jumlah pemilih di Swedia, yakni kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan penghormatan terhadap sistem pemilu. (https://sweden.se/life/democracy/elections-in-sweden)

Sebaliknya, kasus narapidana menjadi caleg adalah contoh nyata bagaimana rendahnya integritas calon dapat mengikis kepercayaan publik. Ketika masyarakat meragukan integritas para calon legislatif karena rekam jejak pidana, terutama korupsi, maka kepercayaan publik tersebut menurun tajam. Penurunan kepercayaan ini berpotensi menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih karena warga merasa kelanggengan praktik buruk dan kurangnya representasi yang kredibel.

Dalam konteks demokrasi yang sehat, tugas utama partai politik dan penyelenggara pemilu adalah menjaga kualitas calon legislatif dengan menyaring secara ketat rekam jejak dan kapasitas moral mereka. Jika tidak, suara rakyat yang dijunjung tinggi dalam sistem demokrasi tidak akan pernah terwujud dengan baik di parlemen. Oleh karena itu, fenomena ini harus menjadi pembelajaran penting agar reformasi sistem politik dan regulasi pemilu terus diperkuat, demi mewujudkan parlemen yang bersih, kredibel, dan benar-benar mewakili rakyat. Tanpa itu, legitimasi dan keberlanjutan demokrasi Indonesia akan terus terancam.

Penulis : Radha Florida

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 167 Kali.