Golput Itu Bukan Solusi, Tapi Tanda Ada yang Harus Diperbaiki

Golput atau golongan putih adalah sikap tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu. Golput bisa menjadi bentuk protes terhadap sistem politik yang dianggap tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Memilih untuk tidak memilih bisa menjadi pernyataan moral yang kuat.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa angka partisipasi pemilih tidak pernah benar-benar mencapai angka ideal. Bahkan, di beberapa wilayah, jumlah pemilih yang golput bisa mencapai lebih dari 20%. Di Pilkada 2024, KPU Provinsi Kalimantan Barat mencatat angka golput sebesar 32,04% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 3.956.969 orang. Dengan kata lain, sebanyak 1.262.018 masyarakat di Kalbar tercatat golput.

Apakah ini semata karena malas datang ke TPS? Tidak selalu. Banyak dari mereka yang golput karena merasa tidak ada satu pun calon yang benar-benar layak dipilih. Mereka kecewa dengan janji-janji politik yang tidak ditepati, muak dengan politisi yang hanya muncul saat kampanye, dan merasa suara mereka tak berdampak apa-apa.

Golput, dalam konteks ini, bukanlah bentuk ketidakpedulian. Justru sebaliknya, ia lahir dari rasa peduli yang disertai rasa frustrasi. Menurut Miriam Budiardjo dalam buku “Dasar-Dasar Ilmu Politik” (2009), menjelaskan bahwa golput bisa muncul dari ketidakpuasan terhadap pilihan politik yang ada, yang sekaligus menunjukkan kepedulian terhadap kualitas demokrasi. Ia adalah kritik diam terhadap sistem yang dirasa tidak adil, penuh kepalsuan, dan hanya menguntungkan elit tertentu. Sayangnya, kritik ini sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan yang lebih sibuk mencari suara daripada memahami suara yang hilang.

Namun, golput bukanlah solusi untuk memperbaiki keadaan. Tidak menggunakan hak pilih justru berpotensi memperlemah demokrasi, menurunkan tingkat partisipasi pemilih, dan mengurangi legitimasi hasil pemilihan. Jika banyak warga memilih golput, maka pemimpin yang terpilih bisa jadi tidak benar-benar mewakili aspirasi mayoritas rakyat, dan kualitas demokrasi pun terancam. Selain itu, pemilu dibiayai oleh dana publik, sehingga seharusnya setiap warga negara memanfaatkan hak pilihnya sebagai bentuk tanggung jawab dan penghargaan terhadap proses demokrasi.

Penting juga dipahami bahwa golput adalah hak politik setiap warga negara dan tidak dapat dipidana. Memilih atau tidak memilih sama-sama merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam sistem demokrasi. Namun, partisipasi aktif dalam pemilu tetap menjadi cara paling konstruktif untuk mendorong perubahan dan memperkuat pemerintahan yang berintegritas.

Pendidikan politik harus diperkuat, transparansi partai dan kandidat perlu ditingkatkan, dan ruang partisipasi rakyat harus dibuka lebar, bukan hanya saat kampanye. Demokrasi tidak cukup hanya diselenggarakan, ia harus dirasakan. Ketika rakyat merasa dilibatkan dan dihargai, maka kepercayaan akan tumbuh, dan partisipasi akan meningkat secara alami.

Golput adalah alarm bagi demokrasi kita. Alih-alih mematikannya, kita seharusnya mendengarkannya. Karena dalam setiap suara yang tidak digunakan, tersimpan harapan yang belum terpenuhi.

Oleh : Radha Florida

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 48 Kali.