
Menjaga Demokrasi Berbasis Kearifan Lokal: Refleksi KPU atas Implementasi Sistem Noken di Papua
Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki mandat konstitusional untuk menjamin setiap warga negara dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dalam pelaksanaan tugas ini, kami menyadari bahwa Indonesia bukan hanya negara yang besar dari sisi geografis, tetapi juga sangat beragam dari sisi sosial, budaya, dan tradisi politik lokal. Salah satu bentuk nyata dari keberagaman itu adalah keberadaan sistem pemungutan suara noken di beberapa wilayah Papua.
Sistem noken bukanlah pilihan sembarangan. Ia lahir dari praktik musyawarah dan pemufakatan khas masyarakat adat pegunungan Papua yang telah berlangsung turun-temurun. Dalam implementasinya, sistem noken dilakukan dengan dua bentuk utama, yakni metode perwakilan tokoh adat (model "big man") dan noken gantung. Keduanya berakar pada struktur sosial masyarakat yang masih menjunjung tinggi prinsip kolektivitas, di mana suara komunitas disampaikan secara bersama-sama oleh pemimpin adat sebagai bentuk tanggung jawab sosial, bukan dominasi.
Sebagai pelaksana pemilu, KPU tidak hanya mengakui keberadaan sistem noken, tetapi juga menatanya secara sistematis dan legal. Legalitas sistem ini ditegaskan melalui sejumlah dasar hukum, di antaranya:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 yang menyatakan sistem noken adalah sah sepanjang merupakan ekspresi kearifan lokal yang telah digunakan sebelumnya;
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 348 ayat (9) yang memberi ruang terhadap pengaturan khusus pada daerah tertentu sesuai kekhususan dan kearifan lokal;
PKPU Nomor 3 Tahun 2019 sebagaimana telah diubah dengan PKPU Nomor 9 Tahun 2019, serta yang terbaru PKPU Nomor 17 Tahun 2024, yang memberikan ketentuan teknis mengenai penggunaan sistem noken/ikat di wilayah yang telah diidentifikasi dan diverifikasi.
Serta diatur lebih teknis lagi dalam Keputusan KPU Nomor 810 Tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan pemungutan suara dengan sistem noken.
Implementasi sistem noken juga tidak dilakukan secara serampangan. KPU melibatkan aparat pengawas, tokoh masyarakat, aparat keamanan, hingga saksi peserta pemilu dalam setiap proses pemungutan suara. Kami juga secara aktif melakukan pelatihan bagi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya partisipasi yang bermartabat. Sistem noken bukanlah pengganti mekanisme demokrasi, tetapi bentuk adaptasi terhadap realitas geografis dan sosial di Papua, di mana akses yang sangat sulit, literasi pemilih yang masih rendah, serta sistem kepemimpinan komunal menuntut pendekatan yang berbeda.
Dalam perspektif ilmiah, legal pluralism (Griffiths, 1986) mengakui bahwa hukum negara tidaklah tunggal dan harus hidup berdampingan dengan hukum adat dan norma sosial masyarakat. Maka, keberadaan sistem noken adalah contoh nyata penerapan pluralisme hukum dalam kerangka negara hukum demokratis. Lebih lanjut, teori demokrasi deliberatif dari Jurgen Habermas menyatakan bahwa proses politik yang ideal melibatkan diskusi kolektif yang rasional dan terbuka. Dalam banyak komunitas adat Papua, noken mencerminkan bentuk deliberasi tradisional yang tetap relevan, bahkan mampu mencegah konflik horizontal akibat kompetisi politik yang individualistis.
Dalam praktik di lapangan, sistem noken telah terbukti menjaga stabilitas sosial, meminimalisasi potensi konflik, dan memungkinkan hak pilih masyarakat tetap tersalurkan meskipun infrastruktur, akses komunikasi, dan tingkat pendidikan belum merata. Di wilayah-wilayah seperti Kabupaten Nduga, Puncak, Intan Jaya, dan Lanny Jaya, pelaksanaan coblos konvensional masih menjadi tantangan tersendiri. Dalam konteks ini, sistem noken adalah solusi realistis sekaligus legal yang dapat menjamin partisipasi rakyat tetap berlangsung.
Sebagai penyelenggara pemilu, KPU tidak hanya menjaga kemurnian suara rakyat, tetapi juga berkomitmen pada prinsip inklusi sosial dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Kami terus mengevaluasi pelaksanaan sistem noken secara berkala, memastikan pelaksanaannya tidak bertentangan dengan prinsip pemilu yang demokratis, dan menjadikannya bagian dari semangat "demokrasi yang membumi"—demokrasi yang hidup dan diterima oleh rakyat di tempatnya masing-masing.
Akhirnya, kami meyakini bahwa sistem noken masih sangat relevan diterapkan di wilayah tertentu di Indonesia, selama pengaturannya dilakukan dengan transparan, akuntabel, serta berpijak pada prinsip-prinsip hukum dan HAM. Demokrasi sejati bukanlah keseragaman, tetapi kemampuan untuk mengakomodasi perbedaan secara adil dan bermartabat.
Oleh : Muhadis Eko Suryanto, SIP