Bagaimana Ego membentuk sebuah demokrasi

Saya akan membahas hal yang menarik akan ego yang di stereotip-kan oleh masyarakat sebagai hal yang buruk namun di sisi lain, kita sangat membutuhkan hal tersebut khususnya pada sistem politik demokrasi saat ini. 

Menurut Sigmund Freund pada teori psikoanalisis, ego ialah komponen dalam pikiran sadar manusia (consciousness) yang bertanggung jawab akan pembuatan keputusan, pemecahan masalah serta keseimbangan primitif dan tuntutan sosial. Secara sederhana, ego itu rasa percaya diri  dan harga diri seorang manusia yang memiliki konotasi negatif seperti kesombongan dan fokus berlebihan kepada diri sendiri dalam masyarakat (society).

Ego dalam sistem demokrasi khususnya pada saat pemilu berperan besar dalam memilih kandidat atas asas pribadi seseorang bukan hanya secara kolektif seperti tribalisme. Ego dalam mendorong pemilih secara sadar akan ekspresi diri atas hak suara individu serta keterlibatan pada diskusi publik.

Manusia yang tidak mengikuti ego cenderung mendengarkan orang sekitar atau kelompok populis sehingga tidak memiliki kepastian serta keyakinan kuat atas visi dan kepentingan pribadi. Kelemahan tersebut dapat berdampak pada keputusan politik seseorang serta kehidupan sosial di kemudian hari.

Contoh kasus ini ialah saat Serangan Fajar Amplop Putih isi Rp. 100.000 di saat Masa Tenang Pemilu 2024 di beberapa wilayah Jawa Tengah. Korbannya ialah KA seperti dilansir oleh Kompas.com (https://www.kompas.com/tren/read/2024/02/12/200000865/kisah-amplop-putih-isi-rp-100-ribu-serangan-fajar-di-masa-tenang-pemilu?page=all). Saat warga tersebut masih berada di tempat tidur pada tanggal 12 Februari 2024, ia diketuk oleh orang tidak dikenal. Dari dalam kamar tersebut ia mendengar bahwa ibunya ditanya berapa orang yang mencoblos di rumah tersebut serta mengeluarkan amplop putih sebanyak hak pilih di rumah.

Dalam kasus seperti ini ego dapat digunakan secara sadar untuk menolak politik uang serta tetap dengan pendirian memilih pemimpin sesuai kepentingan pribadi secara rasional bukan kepentingan kelompok yang menggunakan uangnya sebagai pertukaran untuk suara. Suara tersebut sangatlah mementukan nasib bangsa 5 tahun kedepannya sehingga kita sebagai pemilih harus lebih hati-hati akan serangan fajar tersebut serta kasus-kasus terkait.

Namun, tentu saja terdapat tantangan dalam hubungan antara ego dan demokrasi. Pada suatu sisi ego tersebut dapat mendorong demokrasi dan pemilu yang “lebih sehat” tetapi juga dapat memicu polarisasi dan keputusan yang tidak rasional jika tidak diatasi dengan bijak. Untuk itu marilah kita meningkatkan literasi politik agar dapat menggunakan sistem demokrasi yang sehat dengan mengendalikan ego demi kepentingan bersama dengan menggunakan pemilu sebagai alat penyeimbang hal tersebut.

Penulis : Rinaldo Farera

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 36 Kali.